Indonesiasenang-, Tradisi moci, atau kebiasaan minum teh poci, sudah ada di Tegal sejak abad ke-17, jauh sebelum tanaman teh hadir di Indonesia. Pada masa itu, daerah Pantura Jawa Tengah, termasuk Tegal, dikenal sebagai pusat perdagangan yang ramai. Karena teh belum ditanam di Indonesia, masyarakat Tegal saat itu mengonsumsi teh yang didatangkan langsung dari China.

Seiring perkembangan zaman, catatan sejarah mencatat bahwa tradisi moci di Tegal mulai semakin berkembang pada tahun 1910. Saat itu, terjadi peningkatan produksi dan pembangunan pabrik gula di wilayah Brebes, Tegal, Pemalang, dan Pekalongan. Kondisi ini mendorong tradisi minum teh semakin mengakar di masyarakat. Selain itu, hadirnya pabrik-pabrik teh di Tegal sejak tahun 1930-an juga disebut sebagai faktor yang menciptakan kebiasaan masyarakat untuk gemar menikmati teh.

Teh dari Tegal sendiri memiliki cita rasa yang khas dan unik, yang dikenal dengan istilah Wasgitel, singkatan dari Wangi, Sepet (Pahit), Legi (Manis), Kenthel (Pekat). Selain Wasgitel, ada juga istilah Nasgitel, yang merupakan akronim dari Panas, Legi, Kenthel, menggambarkan karakter teh yang disajikan dalam kondisi terbaiknya.

Tradisi moci di Tegal lebih dari sekadar menikmati the, tetapi menjadi bagian penting dari budaya sosial masyarakat. Melalui aktivitas moci, masyarakat Tegal menjalin keakraban, silaturahmi, serta kebersamaan dalam suasana yang hangat dan akrab. Ungkapan lokal Cipok : Moci Karo Ndopok, yang berarti moci sambil bercengkerama, menegaskan nilai-nilai sosial dari tradisi ini.

Poci yang digunakan dalam tradisi moci pun memiliki keunikan tersendiri. Poci tersebut terbuat dari tanah liat dan tidak pernah dicuci, melainkan hanya dibersihkan dari sisa teh sebelumnya. Hal ini diyakini dapat menambah cita rasa dan aroma teh poci, sehingga setiap seduhan teh menjadi semakin nikmat.

Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, melestarikan tradisi moci menjadi penting untuk mempertahankan identitas budaya masyarakat Tegal. Tradisi ini tidak hanya menjadi simbol kebersamaan, tetapi juga berfungsi sebagai ruang publik untuk berinteraksi, berdiskusi, dan mempererat hubungan sosial antar anggota masyarakat. Tradisi moci di Tegal adalah panggung sosial yang mencerminkan gotong royong dan musyawarah, serta menjadi ikon budaya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari warga Tegal.

Dengan demikian, tradisi moci bukan hanya tentang menikmati secangkir teh, melainkan juga menjadi wujud dari kekuatan sosial yang menghubungkan masyarakat Tegal dalam kehangatan dan kebersamaan, menjadikannya sebagai warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. (dewa; foto disparjateng)