Indonesiasenang-, Desa wisata menjadi salah satu daya tarik yang dimiliki oleh Nusa Tenggara Barat. Tidak hanya menawarkan keindahan alam dan budaya, desa wisata sendiri memiliki keunikan dari unsur ekonomi kreatifnya, seperti karya tenun, seni tari, seni musik, seni ketangkasan dan bela diri, kuliner, hingga rumah-rumah dengan gaya arsitektur tradisional.
Pada pelaksanaan MotoGP bulan Maret 2022, sejumlah desa wisata seperti Desa Bilebante dan Desa Sade menjadi salah satu desa yang terdampak positif dari adanya kegiatan internasional tersebut. Selain itu, kegiatan internasional ini juga turut menambah citra baru pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia khususnya Mandalika di mata dunia.
Kepercayaan wisatawan terhadap atraksi wisata di Mandalika pun meningkat, hal ini juga menjadi sinyal positif bagi potensi wisata lainnya yang ada di kawasan hinterland (pedalaman) Mandalika untuk dapat merasakan manfaatnya.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) terus berupaya secara optimal mendorong pengembangan desa wisata yang ada di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, sehingga desa wisata menjadi lokomotif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Terlebih penyelenggaraan event sport bertaraf internasional yakni World Superbike dan MotoGP telah menjadi magnet terbesar di kawasan Mandalika. Selain itu, Mandalika ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata dalam Peraturan Pemerintah No. 52 tahun 2014. Karenanya, pengembangan desa wisata perlu digarap dengan maksimal, baik dari segi amenitas, atraksi, hingga aksesibilitas.
Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf/Baparekraf, Vinsensius Jemadu, dalam acara “Focus Group Discussion Pemetaan Desa Wisata Penyangga di DPSP Mandalika”, di Hotel Aston Inn, Mataram, NTB, Rabu (20/4/2022), menjelaskan desa wisata menjadi fokus pengembangan destinasi wisata di era pandemi Covid-19. Sehingga ke depannya setelah pandemi, desa wisata diharapkan dapat menjadi tonggak perekonomian nasional.
“Secara fisik pengembangan desa wisata tentunya harus berkolaborasi dengan kementerian/lembaga lain. Kemudian dengan pengembangan produk wisata non-fisik seperti budaya dan kearifan lokal masyarakatnya, kita akan terus dampingi. Desa Wisata akan memperkuat nilai tambah ekonomi di masyarakat desa,” kata Vinsensius Jemadu.
Hadir pula sebagai narasumber FGD Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah Lendek Jayadi, Dosen Poltekpar Lombok, Adhi Yuliyanto dan Amirosa.
Sementara itu Direktur Pengembangan Destinasi II Kemenparekraf/Baparekraf Wawan Gunawan bersama dengan para stakeholders daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang terlibat dalam pengembangan desa wisata sepakat untuk melakukan program SINAKODA. Yaitu (sinergitas berbasis inovasi, adaptasi dan kolaborasi antara pusat dan daerah) agar dapat mencapai target sebagai desa wisata yang mandiri dan berkualitas.
"Kemenparekraf, Pemprov NTB, Pemkab Lombok Tengah dan Kabupaten lainnya siap mendukung dan mendampingi desa wisata di NTB. Dengan program SINAKODA, target desa wisata di NTB yang maju dan mandiri, serta desa wisata menjadi destinasi yang berkualitas, terintegrasi dan berkelanjutan akan terwujud”, kata Wawan Gunawan.
Sedangkan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi NTB, Yusron Hadi, menyebutkan bahwa dari 500 kandidat yang terpilih dalam Ajang Desa Wisata Indonesia, 20 desa diantaranya merupakan desa wisata yang berlokasi di NTB. Hal tersebut mendorong pemerintah daerah untuk lebih giat lagi dalam mengembangkan desa wisata. Terlebih saat ini, hanya 3 persen dari desa wisata yang ada di NTB tergolong ke dalam kategori desa maju.
Hal ini disebabkan karena pengembangan desa wisata masih lemah dalam implementasi, terutama terkait anggaran. "Perlu ada keberpihakan dari segi anggaran beserta penyediaan masterplan untuk menunjukkan keseriusan dalam memajukan desa wisata di NTB. Kami dari Pemerintah Provinsi NTB mengapresiasi langkah Kemenparekraf yang selalu mendukung pengembangan destinasi di NTB”, ujar Yusron Hadi.
Selain itu, menurut Yusron Hadi, sustainability, accessibility, consistency, SDM dan juga tata kelola masih menjadi kendala dalam pengembangan desa wisata. “Perlu ada evaluasi dan pembenahan RIPPARDA (Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah) Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk menunjukkan konsistensi pemerintah daerah dalam pengembangan desa wisata”, katanya. (rls; birkomkemeparekraf)