Indonesiasenang-, Di tengah dunia yang makin dilanda konflik dan kekacauan global, para seniman kembali mencari ruang kontemplasi melalui kanvas. Di galeri baru Ara Contemporary di Jakarta Selatan, pelukis muda asal Spanyol, Carmen Ceniga Prado, menampilkan karya-karya abstraknya yang subtil, menghadirkan refleksi batiniah dalam pameran tunggalnya hingga Agustus nanti. Bagi Carmen Ceniga, spiritualitas bukan sekadar tema, tetapi denyut kehidupan yang tergores dalam setiap warna dan bentuk.
"Lukisan ini bisa menjadi metafora ekspresi batin tentang sumber kedamaian. Bukan di bumi, bukan di langit, tapi di atas awan", ujar Carmen Ceniga kepada Bambang Asrini Widjanarko, penulis dan pengamat seni yang mewawancarainya.

Nama Hilma af Klint, pelukis mistik dari Swedia yang kini dianggap sebagai ‘ibu seni abstrak’ menjadi rujukan utama Carmen Ceniga dalam penciptaan visual. Berbeda dari pandangan umum yang menempatkan Kandinsky sebagai pionir seni abstrak, Carmen Ceniga justru merasa terhubung dengan af Klint. Lukisan-lukisannya yang lembut, transparan, dan meditatif dianggap sebagai kelanjutan dari pencarian spiritual af Klint di awal abad ke-20.
Af Klint, yang semasa hidupnya kurang dipahami bahkan oleh sesama seniman, kini dihidupkan kembali oleh generasi muda. Kritikus seni Peter Schjeldahl dalam tulisannya untuk The New Yorker tahun 2018 menyebut bahwa karya af Klint adalah taruhan untuk masa depan seni. “Pertaruhannya untuk berharap pada apresian seni masa depan nampaknya akan terwujud dengan mereka yang lebih muda dan selaras secara spiritual,” tulis Schjeldahl. Ironisnya, ia wafat di 2022, sebelum melihat betapa dunia makin mendekati jurang perang dan krisis.
Di belahan dunia lain, seniman Indonesia Ay Tjoe Christine memperlihatkan bagaimana pengalaman batin bisa menjadi lensa untuk memahami tragedi global seperti pandemi. Dalam pameran solonya di Shanghai dan Tokyo pada 2020-2021, ia menampilkan lukisan dan instalasi yang menggambarkan makhluk ganjil dan bentuk biomorfik sebagai metafora dari kriptobiosis, kondisi hibernasi ekstrem organisme seperti Tardigrada agar dapat bertahan hidup.
Lewat karya ini, Ay Tjoe Christine merespons karantina dan trauma global akibat COVID-19 dengan pendekatan abstraktif yang sarat spiritualitas. Alih-alih menawarkan narasi gamblang, ia membawa penonton pada perenungan akan batas hidup-mati, jeda, dan ketahanan manusia dalam keterbatasan.

Sementara itu, perupa asal Indonesia yang bermukim di Bali, Sucipto Adi, menapaki jalur berbeda namun tetap dalam semangat yang sama. Ia menggali ikonografi lokal dan ritual tradisi Timur, bukan untuk disalin secara harfiah, melainkan sebagai sumber inspirasi batiniah. “Saya mempelajari beberapa ritual dan pengalaman-pengalaman spiritual meskipun pada akhirnya itu diolah dunia internal saya yang paling abstraktif,” katanya.
Dalam perbincangannya dengan Bambang Asrini Widjanarko, Adi menekankan bahwa ada semacam gelombang baru seni abstrak yang berakar pada spiritualitas dan budaya Timur. Ini bukan tentang meniru ajaran agama atau mitologi lama, tapi menafsirkan ulang simbol, bentuk, dan emosi dalam konteks kekinian—dengan pendekatan ludis dan ironis, seperti serpihan mozaik sejarah yang disusun ulang secara bebas dan penuh permainan makna.
Sebagaimana dikatakan kritikus seni Donald Kuspit dalam esainya Reconsidering the Spiritual in Art, para seniman abstrak kontemporer tak lagi menggenggam doktrin religius secara eksplisit. Namun mereka tetap menyingkap pola-pola spiritual dalam bahasa visual yang baru bukan untuk menjelaskan, tapi mengaktifkan resonansi dalam batin audiens.

Hal ini tampak dalam karya-karya Carmen, Ay Tjoe, hingga Adi. Mereka mengolah simbol dan emosi dalam paduan semantik visual yang halus, seolah mengajak penonton menyelam ke ruang meditatif. Di tengah dunia yang gaduh, seni mereka menjadi oasis, suatu pengingat bahwa kekuatan batin manusia mungkin masih bisa menjadi jangkar, meski hanya sesaat.
Pameran seperti yang digelar Carmen Ceniga Prado, dan perjalanan spiritual dalam karya Ay Tjoe Christine dan Sucipto Adi, menandai bahwa seni abstrak tak lagi sekadar eksperimentasi formal. Ia telah kembali menjadi bahasa batin, tempat manusia mencari makna dalam kehampaan. Seperti langit yang kosong di atas awan yang sunyi, namun penuh kemungkinan. (baw; foto dpp)