Indonesiasenang-, Hari keempat Jakarta Film Week 2025 terasa seperti mosaik besar yang menyatukan tawa, refleksi, dan ide-ide lintas budaya. Dari Taman Ismail Marzuki (TIM) hingga CGV Grand Indonesia dan CGV FX Sudirman, festival ini membuktikan bahwa film bukan sekadar tontonan, ia adalah ruang belajar, percakapan, dan pertemuan lintas generasi.

Di Ruang Museum Koleksi IKJ, ratusan mata tertuju pada panggung tempat empat sutradara berbagi kisah, mereka adalah Duong Dieu Linh (Don’t Cry, Butterfly), Woo Ming Jin (The Fox King), Chong Keat Aun (Pavane for an Infant), dan Mouly Surya (Perang Kota). Dalam sesi Masterclass Directing, mereka membuka rahasia perjalanan panjang menuju film panjang pertama: dari menghadapi penolakan di script lab hingga mencari produser yang sejalan secara visi.

“Filmmaking dan kegagalan pada dasarnya dinikahi satu sama lain”, ujar Duong Dieu Linh, disambut tawa hangat peserta.

Diskusi yang dimoderatori oleh Makbul Mubarak dan Janice Angelica juga menyinggung benturan antara idealisme dan realitas pasar, termasuk persoalan sensor yang masih menjadi tantangan di banyak negara Asia Tenggara.

Sementara itu di CGV Grand Indonesia, tawa menggema sepanjang pemutaran Direction Award: Si Paling Aktor (The Ultimate Actor) karya Ody Harahap, adaptasi dari novel Adhitya Mulya. Film yang baru akan tayang pada 30 Oktober 2025 ini sukses mencuri perhatian lewat humor yang cerdas dan penampilan apik para pemainnya.

Aktor Jourdy Pranata berbagi cerita tentang proses pendalaman peran yang tak biasa. “Sebelum syuting, saya ikut workshop jadi bidan, latihan dengan ular kobra, bahkan belajar bahasa Mandarin. Jadi aktor itu berarti siap belajar hal-hal baru setiap saat”, katanya.

Di sesi diskusi, Adhitya Mulya dan Beby Tsabina menyoroti pentingnya kolaborasi erat antara tim penulis, sutradara, dan pemain demi menjaga keseimbangan antara komedi dan karakter yang autentik.

Masih di ranah tawa, CGV FX Sudirman dipenuhi energi hangat lewat sesi In Conversation with Agak Laen: Menyala Pantiku!. Trio kreatif Muhadkly Acho, Bene Dion, dan Wendy Aga berbagi kisah di balik film terbaru mereka yang lahir dari obrolan santai di podcast.

“Kami ingin menghadirkan warna baru tanpa kehilangan identitas khas Agak Laen”, ucap Acho.

Ditambahkan oleh Wendy Aga, sang Director of Photography, bahwa film ini tampil lebih cerah dan hangat, terinspirasi dari lukisan Botticelli, sementara Bene Dion menegaskan pentingnya menjaga dinamika humor yang otentik bagi penonton setia mereka.

Masih di FX Sudirman, Layar Indonesiana 2024 menampilkan lima film pendek yang menelusuri sisi-sisi kehidupan yang jarang dibicarakan. Judul-judul seperti The Most Handsome Fish on Earth, Hear the Ping Pong Sing, hingga Under the Whether menawarkan perspektif segar tentang isu sosial, menopause, dan kesenjangan sosial.

“Tema menopause jarang diangkat, sementara film lain banyak bicara soal pubertas. Justru dari ruang yang jarang dibicarakan inilah lahir cerita yang segar”, tutur Eliza Cheisa selaku produser.

Sesi diskusi menjadi ruang hangat bagi para pembuat film muda untuk berbagi pengalaman dan menegaskan pentingnya orisinalitas dan kejujuran dalam bercerita.

Kembali ke Teater Sjuman Djaya, program Herstory menjadi sorotan dengan menghadirkan Hannah Al Rashid, Julita Pratiwi (Kelas Liarsip), dan M. Kanz Daffa (Will Today Be a Happy Day?). Diskusi berfokus pada bagaimana perempuan menulis ulang narasi dalam industri film yang masih didominasi laki-laki.

“Kalau yang membuat regulasi masih laki-laki, kita bisa apa ?. Suara-suara dari kita yang bisa menggerakkan semua, melalui ruang seperti Herstory ini”, tegas Hannah Al Rashid.

Julita Pratiwi menambahkan bahwa Herstory bukan sekadar selebrasi, melainkan “arsip hidup” untuk menjaga narasi perempuan tetap hadir dan terdengar.

Di Teater Asrul Sani, enam film pendek dari program Emergency Broadcast mengguncang kesadaran penonton dengan isu sosial dan politik terkini, termasuk Geger Perikoloso, Tutaha Subang, dan Memories From Fire’s Chaos. Para sutradara seperti Wulan Putri, Indigo Gabriel, dan jurnalis Ronna Nirmala berbagi pandangan soal pentingnya memberi ruang bagi suara kelompok termarjinalkan.

“Kita gak bisa melindungi diri kita karena sistem sudah se-chaos ini. Tapi keenam film ini berhasil menangkap realitas itu dengan cara yang jujur”, ujar Ronna Nirmala.

Selain pemutaran film dan diskusi publik, hari keempat juga diwarnai dengan Industry Talks hasil kolaborasi Kemenparekraf dan AINAKI, serta program Jakarta Film Fund yang mempertemukan sineas muda dengan mentor industri.

Program ini menegaskan bahwa Jakarta Film Week 2025 bukan sekadar festival film, melainkan ekosistem kreatif yang tumbuh lewat pertemuan, eksperimen, dan dialog lintas disiplin.

Dari refleksi di Herstory, tawa di Agak Laen, hingga energi muda di Layar Indonesiana, hari keempat Jakarta Film Week 2025 menghadirkan film sebagai percakapan yang tak pernah padam. Sebuah ruang di mana ide dan keberanian bersatu, menyala di layar, dan menular ke hati para penontonnya. (januar; foto hjfw)