Indonesiasenang-, Film Taj Mahal: An Eternal Love Story (2005) merupakan film drama romantis berlatar sejarah yang mengangkat kisah cinta legendaris Kaisar Mughal Shah Jahan dan Mumtaz Mahal. Disutradarai oleh Akbar Khan, film ini terinspirasi dari sejarah berdirinya Taj Mahal, salah satu keajaiban dunia yang hingga kini dikenal sebagai simbol cinta sejati dan pengorbanan tanpa batas.
Kisah cinta abadi yang melahirkan monumen paling romantis di dunia ini dijadwalkan tayang kembali di bioskop Indonesia mulai 13 Februari 2026, bertepatan dengan momentum Hari Valentine.
Akbar Khan, sutradara sekaligus aktor senior Bollywood, menyebut perilisan ulang film ini—khususnya di Indonesia dan Malaysia—sebagai momen yang sangat emosional.
“Saya mempersiapkan film ini selama delapan tahun, dengan proses produksi lebih dari dua tahun. Saya memberikan semuanya—keringat, darah, air mata, dan malam-malam tanpa tidur—demi film ini,” ungkap Akbar Khan saat acara Special Screening Taj Mahal: An Eternal Love Story di XXI Epicentrum, Sabtu (13/12/2025).
Sinopsis Singkat Taj Mahal: An Eternal Love Story (2005)
Cerita bermula dari pertemuan Pangeran Khurram dengan Mumtaz Mahal, perempuan yang kemudian menjadi cinta sejatinya. Hubungan mereka tumbuh di tengah intrik politik, perebutan kekuasaan, serta tekanan kehidupan istana Mughal.
Tragedi datang ketika Mumtaz wafat saat melahirkan, meninggalkan duka mendalam bagi Shah Jahan. Dari rasa kehilangan itulah, Taj Mahal dibangun sebagai monumen cinta abadi, menjelma menjadi simbol kasih yang melampaui waktu.
Alur Cerita Emosional dengan Gaya Naratif Klasik
Alur cerita Taj Mahal: An Eternal Love Story berjalan dengan tempo yang tenang dan narasi klasik. Film ini tidak hanya menonjolkan romansa, tetapi juga dilema seorang pemimpin di tengah konflik kekuasaan. Pendekatan tersebut membuat kisah cinta Shah Jahan dan Mumtaz terasa lebih manusiawi dan menyentuh.
Namun, tempo film yang cenderung lambat menjadi salah satu kekurangannya. Sejumlah adegan berlangsung cukup panjang—terutama dialog istana dan momen romantis—sehingga bagi penonton modern, film ini bisa terasa bertele-tele dan mengurangi ketegangan cerita.
Dialog yang digunakan pun sangat formal dan puitis. Meski sesuai dengan latar sejarah, gaya bahasa ini terkadang terasa kaku dan membuat emosi tidak selalu tersampaikan secara maksimal.
Pendalaman Konflik Politik yang Kurang Tergarap
Intrik politik dan perebutan kekuasaan di era Mughal sebenarnya menjadi fondasi menarik, namun sayangnya tidak digali secara mendalam. Konflik istana lebih banyak berfungsi sebagai latar, padahal jika dikembangkan lebih jauh, elemen ini dapat memperkaya dinamika cerita.
Selain itu, fokus yang terlalu terpusat pada Shah Jahan dan Mumtaz Mahal membuat karakter pendukung terasa datar. Beberapa tokoh penting hadir tanpa eksplorasi karakter yang memadai, sehingga kurang meninggalkan kesan kuat.
Visual Megah dan Sinematografi Klasik
Kekuatan utama film ini terletak pada aspek visual. Set istana, lanskap India, serta kostum kerajaan Mughal ditampilkan dengan detail yang kaya dan autentik. Sinematografi banyak menggunakan wide shot untuk menegaskan kemegahan era tersebut, sementara close-up dimanfaatkan untuk menangkap emosi karakter dalam momen romantis dan tragis.
Sebagai film yang diproduksi sekitar 20 tahun lalu, nuansa visual lawas tentu terasa. Namun justru di situlah letak daya tariknya—memberikan pengalaman sinematik klasik yang berbeda dari film romantis modern.
Dengan jadwal tayang ulang bertepatan Hari Valentine, film ini bisa menjadi pilihan tontonan bernuansa cinta, sejarah, dan nostalgia. Selamat menonton! (kintan; praba; humxxi)