Indonesiasenang-, Industri film tanah air kembali menghadirkan narasi yang menyentuh akar rumput. Seribu Bayang Purnama, film terbaru produksi Baraka Films yang telah tayang mulai 03 Juli 2025, menyorot problematika pertanian di Indonesia dengan pendekatan dramatik dan emosional. Disutradarai oleh Yahdi Jamhur, film ini menjanjikan lebih dari sekadar tontonan, karena ini adalah bentuk advokasi visual atas nasib petani Indonesia yang kian terpinggirkan.
Yahdi Jambur menyoroti fakta bahwa mayoritas petani Indonesia kini berusia di atas 40 tahun, dengan hampir tidak adanya regenerasi. "Jika tak ada perubahan, tahun 2035 kita akan kehilangan generasi petani. Dimana petani adalah tulang punggung negeri, tapi sekarang justru dimarjinalkan oleh sistem yang makin kapitalistik”, tuturnya saat gala premier film yang digelar di XXI Metropole, Jakarta belum lama ini.

Mengambil latar sebuah desa subur di kawasan Yogyakarta, Seribu Bayang Purnama bercerita tentang Putro Hari Purnomo (diperankan Marthino Lio), seorang pemuda idealis yang pulang kampung demi membangun kembali sistem pertanian berkelanjutan. Ia memperkenalkan metode pertanian ramah lingkungan berbasis pupuk dan pestisida mandiri, yang akhirnya diadopsi luas oleh komunitas petani desa.
Putro Hari Purnomo tidak sendiri. Bersama sang ayah, Haji Budi (diperankan Nugie), ia menjadi pionir gerakan “kembali ke alam” lewat metode yang mereka sebut sebagai Metode Nusantara. Tokoh Haji Budi sendiri digambarkan sebagai sosok pembaru desa yang berhasil membangun mushola dan memimpin pelatihan pertanian alami.
Namun perjuangan Putro Hari Purnomo tidak tanpa rintangan. Hadir tokoh antagonis Gatot dan anaknya Dodit, yang dililit utang meski hidup dalam kemewahan. Konflik memuncak ketika nilai-nilai lama, hutang rentenir, dan dominasi pupuk kimiawi bersinggungan dengan semangat perubahan yang dibawanya.

Film Seribu Bayang Purnama juga memperkaya narasi lewat kisah cinta antara Putro dan Ratih (adik Dodit), yang digambarkan sebagai sosok perempuan dermawan dan penuh ketulusan. Dalam salah satu adegan emosional, Ratih bahkan rela meminjamkan seluruh tabungannya demi membeli sebidang lahan agar Gatot dan Dodit bisa lepas dari jeratan utang.
Nilai-nilai lokal juga kental di film ini. Diceritakan bagaimana Putro Hari Purnomo dan Haji Budi menentukan waktu tanam dan panen berdasarkan kalender Jawa dan perhitungan pasaran, menggambarkan harmoni antara manusia dan alam.
Naskah film Seribu Bayang Purnama ditulis oleh Swastika Nohara, seorang petani sekaligus pegiat metode Nusantara yang telah diterapkan di Timor Farm Nusantara, NTT. Metode ini bahkan telah menyebar hingga Timor Leste, dan diadopsi oleh lebih dari 1.500 petani di berbagai wilayah Indonesia. Buku pelatihan yang ia tulis bersama Joao Mota dan Sancho Soares Marques menjadi dasar dari semangat kolektif yang divisualisasikan di layar.
Joao Mota sendiri tak hanya menjadi penulis, namun juga bertindak sebagai produser eksekutif film. Di tangan mereka, Seribu Bayang Purnama tak hanya menjadi film tetapi pernyataan politik atas pentingnya kedaulatan pangan dan reformasi agraria.

“Lewat pelatihan dalam film, kami menampilkan bagaimana petani membangun organisasi politik secara kolektif, berorientasi pada dialog, praktik, dan keberlanjutan. Semua ini untuk menumbuhkan kembali akal sehat dalam bertani”, tutup Yahdi Jambur.
Diperkuat jajaran aktor dan aktris unggulan seperti Marthino Lio, Nugie, Whani Darmawan, Aksara Dena, dan Givina, Seribu Bayang Purnama memadukan akting memikat dengan narasi yang menyentuh. Film ini tidak hanya menghibur, tapi juga membuka mata penonton akan realitas yang selama ini luput dari layar kaca: perjuangan sunyi petani muda untuk menyelamatkan masa depan pangan Indonesia. (kintan; foto hfsbp)