Indonesiasenang-, Taman Ismail Marzuki (TIM) kembali menjadi saksi bagaimana ruang seni dapat berkembang menjadi pusat dialektika budaya. Di tengah derasnya kegiatan pameran, pertunjukan, hingga kelas kreatif yang silih berganti setiap hari, Diskusi Meja Panjang (DMJ) hadir sebagai salah satu forum yang mempertahankan napas intelektual kota. Bukan sekadar ruang temu, DMJ telah menjelma menjadi ruang belajar sastra yang konsisten memupuk tradisi berpikir kritis dan eksploratif.

Memasuki tahun keempat penyelenggaraan, DMJ mempertegas identitasnya sebagai wadah edukatif yang membuka pintu bagi siapa pun yang ingin memahami proses kreatif para penulis. Forum ini digagas oleh Remmy Novaris DM seorang penyair sekaligus pendiri komunitas Dapur Sastra Jakarta yang sejak 2011 aktif mengembangkan ekosistem literasi di ibukota. Dengan format yang menyerupai kelas informal, DMJ memberi ruang bebas bagi publik untuk menyimak, bertanya, serta memperluas wawasan sastra dari perspektif para pelakunya.

Edisi DMJ yang digelar pada 22 November 2025 di lantai 4 Gedung Ali Sadikin, ruang Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, menghadirkan tiga cerpenis perempuan Indonesia dengan latar penulisan yang kontras namun saling melengkapi :

- Helvy Tiana Rosa, pelopor Sastra Islam Kontemporer Indonesia

- Rayni Massardi, cerpenis berlatar pendidikan sinematografi Universitas Sorbonne, Prancis

- Marina Novianti, penulis dengan gaya eksperimental dan eksploratif

Ketiganya membuka proses kreatif masing-masing, memperlihatkan bagaimana sebuah gagasan sederhana dapat diramu menjadi narasi yang kuat.

Helvy menjelaskan bahwa meski ia dikenal melalui perspektif Islam yang kental, ia tidak membatasi diri pada tema tertentu. Banyak karyanya menembus medium lain seperti film, menandakan bagaimana cerpennya memiliki kekuatan visual yang solid.

Rayni, sebaliknya, mengandalkan spontanitas. Baginya, cerita sering kali lahir dari sebuah judul yang tiba-tiba muncul, kemudian berkembang liar di depan layar laptop hingga menemukan konflik dan penyelesaiannya sendiri.

Sementara itu, Marina menekankan pentingnya eksperimen. Ia kerap memilih ide-ide tak lazim dan judul yang menggugah rasa ingin tahu pembaca, sebuah pendekatan yang membuat gaya penulisannya tampil berbeda.

Ketiganya diibaratkan seperti tiga koki yang diberi bahan yang sama, misalnya sebotol kecap namun akan menghasilkan tiga hidangan naratif dengan cita rasa yang sangat berbeda.

Keberlanjutan DMJ tak lepas dari dukungan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Kepala UPT PDS HB Jassin, Diki Lukman Hakim, memandang forum ini sebagai ruang penting untuk mengasah kecakapan intelektual masyarakat. Selama empat tahun, ia mempertahankan program ini karena melihat bagaimana diskusi sastra mampu melatih partisipasi aktif, memperluas pola pikir, sekaligus mengasah soft skills seperti argumentasi dan keterampilan membaca kritis.

Sastra, sebagai disiplin yang bersinggungan dengan sosiologi, filsafat, psikologi, hingga film, membutuhkan ruang semacam DMJ untuk memastikan bahwa pertukaran gagasan tidak hanya berhenti pada teks, tetapi berkembang menjadi percakapan lintas disiplin.

Di tengah perubahan zaman dan tantangan digital, keberadaan forum seperti DMJ menunjukkan bahwa diskusi sastra tidak pernah kehilangan relevansinya. Ia menjadi bukti bahwa ruang-ruang budaya seperti TIM bukan hanya tempat berkegiatan, tetapi pusat pembentukan cara pandang masyarakat terhadap seni.

Selama komunitas sastra terus bergerak dan ruang seperti Diskusi Meja Panjang tetap dirawat, TIM akan terus menjadi jantung intelektualitas Jakarta, tempat di mana ide bertemu, berkembang, dan kembali menghidupkan tradisi literasi kota. (kintan; foto hdmj)