Indonesiasenang-, Di tengah gempuran minuman modern dan dessert kekinian, es selendang mayang tetap berdiri sebagai salah satu warisan kuliner Betawi yang sarat sejarah dan filosofi. Minuman tradisional yang telah populer sejak tahun 1940-an ini kini justru semakin sulit ditemukan, meski dahulu menjadi sajian wajib dalam berbagai hajatan masyarakat Betawi.
Dalam tradisi Betawi, selendang mayang biasa dihadirkan pada pesta pernikahan, hajatan adat, hingga menu buka puasa. Rasanya yang manis dan gurih, berpadu dengan tekstur kenyal, menjadikan minuman ini bukan sekadar pelepas dahaga, tetapi juga simbol kehangatan dan kemeriahan kebersamaan.

Nama selendang mayang bukan tanpa makna. Disebut “selendang” karena tampilannya terdiri dari lapisan warna hijau, putih, dan merah yang menyerupai selendang penari. Sementara “mayang” diartikan sebagai tekstur yang kenyal dan manis.
Mengutip laman Warisan Budaya Takbenda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), warna-warna tersebut merepresentasikan keberagaman budaya Betawi. Merah berkaitan dengan pengaruh budaya Tiongkok, kuning mencerminkan Melayu, dan hijau kerap diidentikkan dengan budaya Arab. Perpaduan ini menggambarkan Betawi sebagai masyarakat yang tumbuh dari beragam latar budaya.
Tempo dulu, selendang mayang dijajakan secara sederhana menggunakan gerobak keliling di kampung-kampung. Penyajiannya pun masih menggunakan mangkuk kecil, meski kini sebagian pedagang beralih ke gelas plastik. Seiring waktu, minuman tradisional ini mulai jarang ditemui di ruang publik.

Meski begitu, selendang mayang masih bisa ditemukan di beberapa destinasi budaya dan pusat kuliner Jakarta, salah satunya di kawasan Setu Babakan, yang dikenal sebagai pusat pelestarian budaya Betawi.
Selendang mayang terbuat dari tepung sagu, tepung hunkwe (kacang hijau), tepung beras, serta daun pandan suji sebagai pewangi alami. Hidangan ini disajikan dingin dengan es batu, kuah santan gurih, dan sirup gula merah yang legit.
Agar tampil lebih menarik, dessert tradisional ini biasanya disajikan dalam gelas atau mangkuk, dilengkapi sendok keramik putih dan hiasan daun pandan. Teksturnya yang menyerupai puding atau kue lapis menjadikannya kerap disebut sebagai “kue lapis versi minuman”.
Di balik rasanya yang manis, selendang mayang juga menyimpan cerita rakyat Betawi. Konon, nama minuman ini terinspirasi dari sosok Putri Mayangsari, perempuan cantik di era Jampang yang dikenal memiliki rambut terurai indah bak selendang. Kisah ini menambah nilai romantik dan historis pada sajian tradisional tersebut.

Selain menjadi sajian pesta adat, selendang mayang juga populer sebagai menu takjil saat Ramadan. Sensasi dingin, manis, dan gurihnya dianggap mampu merepresentasikan suasana kebersamaan dan kehangatan keluarga.
Di tengah arus modernisasi, kehadiran selendang mayang menjadi pengingat bahwa kuliner bukan sekadar soal rasa, melainkan juga identitas, sejarah, dan cerita budaya yang patut dijaga. Sebuah minuman sederhana yang membawa pesan besar tentang keberagaman dan warisan Betawi. (ridho; foto hdpj)