Indonesiasenang-, Kota Surakarta atau yang dikenal dengan kota Solo tak pernah kehabisan cerita ketika bicara soal kuliner. Salah satu yang paling sarat makna sekaligus paling “jujur” menggambarkan wajah budaya kota ini adalah sate kere, sajian yang lahir dari keterbatasan, tumbuh dari kreativitas wong cilik, dan kini menjelma ikon kuliner yang diburu wisatawan.

Pada masa lampau, sate merupakan makanan mewah, hanya bisa dinikmati kalangan bangsawan Jawa maupun para tuan Belanda. Bagi masyarakat kelas bawah, semangkok gulai saja sudah istimewa, apalagi menyentuh sate daging yang harganya tak terjangkau.

Dari kondisi itulah muncul istilah kere, yang dalam bahasa Jawa bermakna gelandangan atau orang miskin. Alih-alih menyerah pada keadaan, warga Solo menciptakan versi “tandingan”: sate berbahan jeroan sapi dan ampas tahu atau tempe gembus, bagian-bagian yang tidak lagi dimanfaatkan di dapur kolonial maupun rumah aristokrat.

Sisa makanan bagi bangsawan itu diolah dengan teknik panggang dan dibalur bumbu kacang, menghasilkan cita rasa baru yang tidak hanya layak disantap, tetapi juga lezat dan memiliki karakter khas. Kreativitas inilah yang menjadi napas kelahiran sate kere.

Lebih dari sekadar kuliner, sate kere adalah potret budaya tanding (counter-culture). Ia mewakili cara wong cilik menegaskan identitas di tengah budaya feodal yang kala itu masih kuat.

Jika kalangan atas memandang jeroan dan gembus sebagai bahan “rendahan”, masyarakat bawah justru memanfaatkannya sebagai simbol perlawanan. Mereka tidak memilih marah atau pasrah, tetapi merespons dengan kreativitas kuliner, sebuah bentuk protes halus namun bermakna.

Dari dapur-dapur kecil di sudut kampung, lahirlah sate yang menawarkan kenyang, rasa, sekaligus martabat.

Waktu berjalan, persepsi masyarakat ikut berubah. Sate kere yang dulunya dipandang sebelah mata justru naik kelas. Harganya tidak lagi murah, bahkan “martabatnya” ikut terdongkrak ketika masuk ke restoran-restoran modern.

Kini, baik wisatawan maupun warga lokal sama-sama berburu sate kere untuk menikmati kekayaan rasanya, perpaduan jeroan dan gembus yang smoky, bumbu kacang yang gurih-manis, dan sensasi otentik dari teknik panggang arang tradisional. Tak ada lagi sekat kelas, yang tersisa adalah identitas kuliner yang mempersatukan.

Hari ini, sate kere telah menjadi bagian tak terpisahkan dari citra Kota Solo. Wisatawan yang berkunjung biasanya langsung diarahkan ke penjual legendaris di sekitar Sriwedari maupun pusat kuliner lainnya.

Dari makanan kelas bawah, sate kere tumbuh menjadi warisan budaya yang dirayakan bersama. Ia bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang sejarah, keteguhan, dan kreativitas masyarakat Solo dalam menghadapi keterbatasan.

Mengunjungi Solo rasanya belum lengkap tanpa menyantap sate kere, seporsi kisah sejarah yang tersaji hangat di atas piring. (damar; foto dpks)