Indonesiasenang-, Hari kedua Jakarta Film Week 2025 menampilkan dinamika dunia sinema yang hidup: dari ruang belajar hingga layar bioskop, dari musik pengiring yang menggugah hingga kolaborasi lintas negara. Rangkaian program hari ini memperlihatkan bahwa di balik setiap film, ada proses panjang, kerja kolektif, dan keberanian untuk terus bereksperimen.

Pagi hari dibuka dengan Masterclass: Film Scoring & Original Song – Creating Music, Amplifying Feelings di FFTV IKJ, menghadirkan komposer asal Hong Kong Day Tai. Dalam kelas yang interaktif, Day menjelaskan bahwa musik dalam film bukan sekadar pelengkap, tetapi elemen naratif yang memperkuat emosi dan psikologi karakter.

“Musik bukan sekadar latar, tapi a narrative force yang memperkuat nuansa dan psikologi karakter”, ujar Day Tai.

Sesi ini kemudian berlanjut bersama Melly Goeslaw, Anto Hoed, dan Belanegara Abe, yang berbagi tentang bagaimana scoring dan lagu orisinal mampu membentuk dunia emosional film sekaligus membuka ruang kolaborasi antara musisi dan sineas.

Isu kebebasan berekspresi dan regulasi menjadi fokus dalam Program Talks: 101 Indonesian Film Censorship di Harris FX Sudirman. Diskusi yang menghadirkan Dr. Evan Ismail, Tri Widyastuti Setyaningsih, Ginanti Rona, dan Linda Gozali ini mengupas hubungan antara kebijakan publik dan ruang kreatif para pembuat film.

Para pembicara sepakat bahwa sensor bukan sekadar batasan, melainkan ruang refleksi bagi sineas untuk lebih sadar akan konteks sosial dan budaya yang mereka hadapi. Literasi kebijakan pun menjadi kunci agar industri film tetap berkembang dengan sehat tanpa kehilangan daya kritisnya.

Di Hotel Mercure Jakarta Cikini, sesi Industry Talks: “The Co in the International Co-Production” menghadirkan diskusi menarik seputar pentingnya kolaborasi lintas negara dalam memperkuat produksi dan distribusi film.

Bersama moderator Yulia Evina Bhara, para pembicara Lorna Tee, Daniel Mattes, dan Ellen Y.D. Kim membahas bagaimana kerja sama internasional tidak hanya soal modal, tapi juga membangun kepercayaan dan kesetaraan dalam proses kreatif.

“Dalam banyak kolaborasi internasional, penting untuk memahami budaya dan cara kerja partner, karena itu membentuk alur kreatif yang unik dalam proyek bersama”, kata Ellen Y.D. Kim.

Program ini menjadi bagian dari JFWNET – Industry Program, platform yang bertujuan memperluas jejaring profesional film di Asia, memperdalam pemahaman lintas budaya, dan membangun kolaborasi jangka panjang antar pelaku industri.

Menjelang malam, perhatian beralih ke CGV Grand Indonesia. Dua film panjang nominasi Direction Award, Planet of Love karya Ika Wulandari dan Crocodile Tears karya Tumpal Tampubolon, diputar bersamaan dengan sesi diskusi bersama para pembuatnya.

Kedua film ini menampilkan bagaimana visi sutradara dan kerja tim kreatif menjadi fondasi penting dalam menghadirkan kisah yang jujur, emosional, dan relevan dengan realitas sosial saat ini.

Sementara itu, tiga film pendek hasil dari Jakarta Film Fund yaitu Amelia, Amelia (Daphne), Cream Bath Aftermath (Tahlia Motik), dan Farewell (Fritz Widjaja) memperlihatkan semangat baru dari generasi muda sineas Indonesia. Dengan gaya bercerita yang segar dan berani, karya-karya ini menandai tumbuhnya ekosistem film yang semakin inklusif dan dinamis.

Hari kedua Jakarta Film Week 2025 memperlihatkan wajah sinema Indonesia yang terus bergerak dan beradaptasi. Dari ide di ruang kecil hingga kolaborasi internasional, festival ini menunjukkan bahwa film adalah hasil dari pertemuan banyak pikiran dan hati para kreator yang saling menginspirasi untuk melahirkan karya bermakna.

Diselenggarakan pada 22–26 Oktober 2025 di berbagai lokasi seperti CGV Grand Indonesia, CGV FX Sudirman, Hotel Mercure Cikini, FFTV IKJ, dan Taman Ismail Marzuki, Jakarta Film Week menghadirkan forum industri, masterclass, dan program edukasi yang memperkaya ekosistem perfilman nasional.

Festival ini sekali lagi menegaskan bahwa masa depan sinema Indonesia dibangun dari kolaborasi, keterbukaan, dan keberanian untuk terus bercerita. (devin; foto hjfw)