Indonesiasenang-, Karya seni pertama-tama untuk mengungkapkan permasalahan penting bagi penciptanya. Permasalahan yang menggelisahkan ini merongrong senimannya sehingga ia tidak bisa dihentikan atau dibuang. Permasalahan itu membuat senimannya getir, terlunta, merana karena hal itu terjadi dalam proses gagasan dan juga keseharian.
Permasalahan itu tidak berdiri sendiri, terpisah, lepas dari konteks sosial-politik di lingkungannya. Seluruhnya, permasalahan itu adalah akibat dari sebab-sebab eksternal, di mana seseorang dari kelompok sosial tertentu sering kalah dalam pertarungan di medan sosial-sosial politik yang melingkunginya. Seseorang digilas oleh kekuatan besar dalam arus besar medan sosial-politik yang bernama negara, pemerintah, perusahaan, partai politik, organisasi massa, militer, agama, atau apa pun namanya yang hakikatnya berkolaborasi mendestruksi pihak lemah, terpinggirkan, dan sendirian.

Pameran rupa tunggal bertajuk MOTHERLAND dari Bambang Asrini mengetengahkan permasalahan pertarungan kelas kelas sosial tersebut. Sekalipun yang tampil dalam seni Lukis karya Bambang adalah bunga, tangan keriput, lambang negara Pancasila, tanaman jagung sedang berbuah, tanaman padi, tanaman jagung, tapak kaki kanan, timbangan hukum, daun telinga, mikrofon, kuas, keberadaannya dalam kanvas tidak stabil atau goyah. Visualisasi objek-objek yang ditampilkan Bambang di atas kanvasnya mewakili pernyataan atau gagasan mengenai harapan, kebaikan, tujuan mulia kehidupan berupa keadilan dan kesejahteraan. Namun posisi labil di tengah kanvas yang dikuasai bidang dan warna hitam pekat, menempatkan objek-objek tadi dalam suasana takut, kalah, lelah, sendirian, duka cita berkepanjangan.
Pada lukisan Asrini’s Soul III objek bunga warna merah dan tiga tangan hadir dalam kanvas yang sepenuhnya gelap. Ada satu tangan yang menggenggam erat tangkai bunga. Bunga itu berhasil dipegangnya seakan bunga merah adalah harapan yang telah diraihnya. Hanya saja, lengan tangan itu koyak dalam susunan daun-daun aneka ukuran. Lengan itu tidak ada, tetapi coba disusun dari objek lain. Sementara dua tangan lain hampa dari bunga. Tangan itu, satunya hanya lima jemari saja yang terpisah. Ia kehilangan harapan berupa simbol bunga.
Objek-objek pada lukisan Bambang terserak sehingga gagal membentuk satuan utuh antara tangan dan bunga. Apa yang diharapkan mengenai bersatunya kenyataan dan harapan tidak sesuai lagi dengan ideal gagasan mengenai kemuliaan yang disimbolkan melalui bunga. Visualisasi objek lukisan ini menyarankan kegagalan dan ketidaksampaian dalam realitas. Yang ada, keberceraian harapan dengan kenyataan sehingga kanvas ini menghampiri audiens dengan perasaan patah, rapuh, sewaktu-waktu rontok.

Ketidakutuhan ini terjadi pada lukisan Asrini’s Soul I/Motherland, juga Asrini’s Soul II, Asrini’s Soul IV, Asrini’s Soul V, Asrini’s Soul VI. Seri lukisan karya-karya bertema spiritual Bambang ini menunjukkan keterpisahan objek satu sama lain dalam menjelaskan tiadanya harapan atau mungkin sudah pada tahap keputusasaan dari gagasan yang hendak diketengahkan senimannya.
Memang ada sebagian keutuhan itu ketika dua tangan terhubung dengan jari saling meraih pada lukisan Asrini’s Soul IV. Tetapi dalam karya ini satu lengan tangan pecah dalam objek-objek daun di antara kawat berduri di sisi kiri atas yang agaknya sebagai ancaman dan di sisi bawah kanan kelopak bunga lepas tak terpegang.
Pada seri kultural dan kebangsaan lukisan Bambang melakukan objek-objeknya dengan cara yang sama. Ikon garuda Pancasila sebagai lambang negara dalam posisi goyah, tidak stabil di tengah kanvas yang dikuasai warna hitam mencekam. Memang ada warna garuda merah dan kuning, tetapi posisinya miring di tengah kanvas dikuasai warna merah menjadikan ikon penting cita-cita kebangsaan Indonesia itu tampak melayang, kehilangan kendali, menuju tempat antah-berantah.
Posisi lemah ikon garuda Pancasila ini lebih mencekam lagi pada Struggle for Life ketika ada objek silet di atasnya dengan warna merah mengkilat di ujungnya (mungkinkah itu darah?). Senada dengan ancaman itu pada Menolak Dikerdilkan ikon garuda Pancasila nyaris berada dalam cengkeraman kaki tajam menghunjam seekor garuda (juga?). Sekalipun ada lukisan dengan latar belakang merah, garuda itu dalam posisi miring nyaris sebentar lagi akan terjungkal.
Objek-objek lain berupa Tugu Monas dan Patung Tani dalam lukisan Truth: Monumen Nasional dan Monumen Tani & Wong Cilik posisinya labil di tengah arus deras dan latar gelap menganga. Objek-objek tersebut tidak tegap lagi menyampaikan gagasan mengenai gambaran jiwa kemerdeaan lepas dari kolonialis yang digagas Soekarno pada Tugu Monas dan gagasan serta harapan kesejahteraan kaum tani. Tetapi yang tercurahkan dari lukisan ini adalah tiadanya harapan diliput kebisuan mencekam karena latar hitam tersebut.

Objek-objek dalam lukisan Bambang kalau tidak dalam posisi labil posisinya tersuruk nyaris hilang ditelan bidang hitam yang dominan. Bidang hitam dalam lukisan Bambang ini menghadirkan suatu misteri yang besar dan kuat. Sehingga setiap gagasan yang muncul dalam objek-objek penting dalam isu kebangsaan berupa ikon garuda Pancasila berada dalam posisi koyak dan lemah. Pertanyaan yang muncul dari karya lukis Bambang: siapakah dan bagaimanakah hancurnya gagasan mengenai kebangsaan agung yang berhasil mewujudkan keadilan dan kesejahteraaan rakyat?
Karya lukis Bambang menempatkan pertarungan secara dialektis antara gagasan mengenai keadilan dan kesejahteraan dalam berbangsa dan bernegara kalah menghadapi keculasan dan kerakusan tak terbendung. Gagasan, gerakan, dan juga kenyataan keadilan dan kesejahteraan dalam objek berupa tanaman jagung, garuda Pancasila, kelopak bunga merah, tangan-tangan beserta jemari, Tugu Tani, Tugu Monas dirongrong dan ditumpas oleh gagasan, gerakan, kenyataan culas dan rakus berupa bidang dan warna hitam yang dominan. Simbolisasi bidang dan warna hitam yang dominan sebagai wujud keculasan dan kerakusan yang dilakukan sekelompok kecil elit yang mengendalikan modal raksasa yang menguasai Indonesia.
Sekelompok elit ini kombinasi politisi hitam, birokrat hitam, pengusaha hitam, militer hitam yang dengan sengaja menghancurkan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak. Mereka ini menguasai seluruh alat produksi dalam wilayah Indonesia, yaitu tanah, laut, udara, perangkat birokrasi dan militer, partai politik dst, untuk kepentingan golongannya yang berakibat penderitaan golongan sosial menengah ke bawah. Merekalah dengan segala perilaku rakus dan culasnya disimbolkan lewat bidang dan warna gelap yang menguasai kanvas-kanvas karya lukis Bambang.
Pertarungan keadaan adil-sejahtera yang diidamkan kelas sosial menengah bawah versus keculasan-kerakusan yang dipertahankan kelas elit ini secara internal melakukan dialektika dalam bidang karya lukis Bambang. Dialektika pertarungan dua golongan ini memproduksi makna karya lukis Bambang. Karya-karya lukis Bambang berada dalam diskursus kontradiksi pertarungan dua kelas sosial dalam konteks sosial-politik Indonesia saat ini. Kontradikasi ini mulanya pengalaman subjektif yang dialami seorang Bambang dengan seluruh dinamika kelas sosial yang dialaminya di Jakarta dan di Indonesia, tetapi dalam tahap yang lebih lanjut kontradiksi tersebut pada dasarnya adalah kontradiksi dari keadaan objektif dalam lapangan sosial-politik di Indonesia.

Karya Bambang adalah gambaran mengenai kegelisahan kehidupan rakyat yang kehilangan harapan dan secara kreatif ditransformasikan dalam kanvas, tetapi pada saat yang sama juga adalah gambaran politis medan sosial-politik Indonesia saat ini yang diliputi ketimpangan, kebangkrutan sosial, kemelaratan, kesusahan, keputusasaan yang dialami oleh kelas sosial menengah-bawah yang jumlahnya lebih dari 90 persen total penduduk Indonesia.
Karya-karya lukis Bambang ini dalam pandangan Frederic Jameson secara gigih lahir dari idiologeme hilangnya harapan akan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak dalam konteks berbangsa dan bernegara Indonesia. Karya-karya lukis bambang mengingatkan bahwa hilangnya harapan ini sangat berbahaya bagi keselamatan kehidupan berbangsa di Indonesia. Sebab tiadanya harapan berarti tiadanya perasaan yang terbangun secara kolektif di tingkatan kelas sosial yang tertindas dalam konteks keindonesiaan.
Sebaliknya, adanya harapan akan membentuk keutuhan sosial yang lahir kelas sosial yang bersangkutan dan bukan hasil intervensi dari pihak luar, pihak penguasa, pihak dominan. Harapan tidak sekadar slogan politik, tetapi nyata dan secara aktual membentuk keakraban, kedekatan, kebersamaan sehingga memungkinkan menjelma pada adanya struktur perasaan (structure feeling) dalam formasi kebudayaan dalam kelas sosial yang tertindas sebagaimana disampaikan Raymond Williams. Harapan tersebut terbentuk apabila adanya gagasan dan gerakan yang menuju perwujudan keadilan dan kesejarahteraan bagi kelas sosial yang tertindas. (Imam Muhtarom)