Indonesiasenang-, Suara tepuk tangan panjang memenuhi auditorium CGV Grand Indonesia, Minggu malam (26/10/2025). Film Dopamin karya Teddy Soeria Atmadja baru saja rampung diputar menandai berakhirnya perhelatan Jakarta Film Week 2025. Sebuah penutup yang reflektif, hangat, dan emosional untuk festival yang selama lima hari terakhir telah menjadi rumah bagi cerita, layar, dan pertemuan lintas budaya.
“Melalui setiap pemutaran, kita diingatkan bahwa sinema menyatukan kita, menjembatani jarak, menyalakan empati, dan membuka hati,” ucap Rina Damayanti, Festival Director Jakarta Film Week, dalam sambutannya malam itu.
Kata-kata yang terasa seperti benang merah dari seluruh festival, bahwa sinema bukan hanya hiburan, tapi bahasa universal yang menyatukan.
Sejak dibuka pada 22 Oktober, Jakarta Film Week 2025 menghadirkan puluhan film dari berbagai negara dari realisme sosial hingga eksperimen visual yang memikat. Puncaknya, malam penutupan menjadi ajang apresiasi bagi para sineas yang karya-karyanya telah menggugah penonton.
Dalam kategori internasional, Global Feature Award jatuh kepada The Devil Smokes karya Ernesto Martinez Bucio, yang dinilai juri berhasil “membangun dunia yang autentik dengan keseimbangan antara realisme sosial dan fable”.
Sementara dari tanah air, Crocodile Tears karya Tumpal Tampubolon mencuri perhatian dengan kemenangan ganda: Direction Award dan Nongshim Award Feature. Film tersebut disebut sebagai “dongeng gelap” yang kaya simbol dan kuat secara sinematik.
Untuk kategori nasional, Salon Gue Aje karya Tahlia Motik memenangkan Jakarta Film Fund Award, memotret perubahan wajah Jakarta dengan kejujuran dan sentuhan emosional khas urban life.
Bukan hanya soal film, Jakarta Film Week juga menjadi ruang bagi pertemuan ide dan kolaborasi. Dalam sambutannya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno menegaskan komitmen pemerintah untuk terus mendukung ekosistem perfilman di ibu kota.
“Jakarta bukan sekadar penonton, tapi juga pusat lahirnya cerita-cerita baru dari Indonesia untuk dunia”, ujar Rano Karno.
Pernyataan itu senada dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang melihat festival ini sebagai “wadah diplomasi budaya” cara Indonesia berbicara di panggung global lewat sinema.
Salah satu kabar paling menggembirakan datang di akhir acara, bahwa Indonesia akan menjadi fokus negara di program Next Step Studio 2026 kolaborasi antara La Semaine de la Critique – Cannes, KawanKawan Media, dan DW. Program ini merupakan lanjutan dari Next Step Workshop Cannes, yang dirancang untuk menumbuhkan suara-suara baru dalam perfilman dunia.
Produser Yulia Evina Bhara menyebut inisiatif ini “langkah penting membuka jalur internasional bagi sineas muda Indonesia, tanpa kehilangan akar lokalnya”.
Sebagai film penutup, Dopamin terasa seperti cermin dari tema besar festival tahun ini “the pursuit of connection and joy in a fragmented world”. Teddy Soeria Atmadja menggambarkan pencarian kebahagiaan di tengah dunia modern dengan nuansa lembut namun menyentuh.
Produser Gobind Vashdev mengatakan, “Dopamin adalah pengingat bahwa cinta adalah satu-satunya obat untuk tetap bahagia di dunia yang makin gila”.
Dan saat lampu kembali menyala, terlihat wajah-wajah yang masih terdiam seperti enggan melepaskan momen itu. Jakarta Film Week 2025 mungkin telah usai, tapi resonansinya terasa akan lama tinggal di hati penontonnya. (dewa; foto hjfw)