Indonesiasenang-, Ada lagu yang tidak datang dengan letupan emosi berlebihan, tidak pula memaksa pendengarnya terhanyut sejak detik pertama. Lagu semacam itu hadir pelan, jujur, dan diam-diam menetap. “Freeze”, single terbaru Elisha Danielle, berada tepat di ruang itu, sebuah perenungan lembut tentang jarak, tentang pergi dan kembali, serta tentang koneksi yang tak pernah benar-benar terputus meski waktu berjalan.
Setelah debutnya lewat Pretty Easy yang memperkenalkan karakter synth-pop yang segar, Elisha Danielle memilih jalur yang lebih sunyi namun personal. Freeze bukan tentang perpisahan dramatis, melainkan tentang jeda. Tentang bagaimana sebuah hubungan bisa tetap bernapas meski tidak selalu hadir setiap hari.
Inspirasi lagu ini lahir dari pengalaman Elisha Danielle saat tinggal di Perth, kota yang baginya lebih dari sekadar tempat singgah. Perth adalah ruang aman, tempat di mana persahabatan tumbuh tanpa tuntutan, dan kehadiran tidak harus dibuktikan lewat intensitas.
“Ada sesuatu yang selalu terasa pas ketika aku kembali. Bukan karena tempatnya semata, tapi karena orang-orang dan energi yang menunggu tanpa tuntutan”, ujar Elisha Danielle.
Bagi Elisha Danielle, Freeze merayakan gagasan bahwa hubungan tidak selalu harus dipelihara lewat kehadiran konstan untuk tetap bermakna.
Perasaan itu diterjemahkan Elisha Danielle dalam lirik dan melodi yang sederhana namun hangat. Setiap kali ia meninggalkan Perth, rasanya seperti menekan tombol jeda, bukan mengakhiri. Dan setiap kali kembali, semuanya terasa mengalir begitu saja, seolah melanjutkan percakapan yang sempat terhenti di tengah kalimat. Tidak canggung, tidak asing.
Proses kreatif Freeze digarap dalam sesi penulisan lagu di Ubud, Bali, bersama Petra Sihombing. Kolaborasi ini menjadi titik penting dalam evolusi musik Elisha Danielle. Jika sebelumnya ia bermain di ranah elektronik, kali ini ia memilih pendekatan yang lebih organik dan membumi. Petikan gitar yang hangat, lapisan suara ambient yang halus, serta ritme yang tidak terburu-buru menciptakan atmosfer intim, seolah lagu ini memang dimaksudkan untuk didengarkan saat senja atau di perjalanan pulang.
Perubahan musikal ini bukan sekadar eksperimen, melainkan refleksi dari kedewasaan emosional yang ingin disampaikan. Freeze memberi ruang bernapas, membiarkan pendengar meresapi makna jarak tanpa harus merasa kehilangan.
“Jarak tidak selalu harus terasa menyedihkan, Kadang waktu yang terpisah justru memperkuat hubungan. Memberi ruang untuk tumbuh, sehingga ketika kembali, semuanya terasa lebih dalam dan bermakna”, kata Elisha Danielle.
Pesan tersebut juga diterjemahkan secara visual lewat video musik Freeze. Alih-alih menampilkan lanskap kota atau narasi yang eksplisit, Elisha Danielle memilih konsep taman mini yang dibangun sepenuhnya dari tanaman asli. Dengan pencahayaan lembut bernuansa dreamy, visual ini merepresentasikan pertumbuhan, nostalgia, dan pembaruan, sebuah metafora halus tentang hubungan yang tetap hidup meski sempat dijeda.
Di tengah deretan lagu pop yang sering kali berteriak tentang kehilangan dan perpisahan, Freeze hadir sebagai bisikan. Ia tidak memaksa pendengar untuk merasa sedih, juga tidak menjanjikan akhir bahagia. Lagu ini hanya mengingatkan bahwa ada hubungan yang cukup kuat untuk bertahan dalam diam, dan ada pulang yang tidak selalu ditandai dengan pelukan, melainkan rasa akrab yang tak berubah.
Lewat Freeze, Elisha Danielle menunjukkan bahwa kejujuran emosional tak selalu membutuhkan dramatisasi. Kadang, cukup dengan menekan tombol jeda, lalu percaya bahwa ketika waktunya tiba, semuanya akan terasa pas kembali. (sugali; foto dped)