Indonesiasenang-, Jakarta kembali menjadi ruang pertemuan seni dan literasi budaya Tiongkok klasik. Linda Gallery, salah satu galeri seni yang konsisten menghadirkan pameran internasional, mempersembahkan A Path To Glory, sebuah ekshibisi patung karya pematung muda Tiongkok, Ren Zhe, sebagai bagian dari peringatan seratus tahun kelahiran maestro sastra wuxia, Jin Yong. Pameran ini digelar di Townhall IDD PIK 2 mulai 03 hingga 19 Oktober 2025.
Nama Jin Yong nyaris mustahil dilewatkan dalam lanskap sastra Asia. Penulis asal Hong Kong ini telah menorehkan 15 karya yang mengangkat dunia silat (wuxia) dengan cakrawala filsafat Timur. Trilogi legendarisnya The Legend of the Condor Heroes, The Return of the Condor Heroes, dan The Heaven Sword and Dragon Sabre atau yang dikenal sebagai Trilogi Pendekar Rajawali, menjadi ikon budaya populer yang lintas generasi.

Kisah-kisah Jin Yong bukan hanya tentang duel pedang atau dendam keluarga, tetapi juga tentang nilai keberanian, kebajikan, kesetiaan, hingga pencarian jati diri. Tak heran jika karya-karyanya telah diadaptasi lebih dari 130 kali ke layar lebar dan televisi, menjangkau audiens global dari Tiongkok, Hong Kong, hingga Asia Tenggara. Di negeri asalnya, survei bahkan mencatat 80-90% warga pernah bersentuhan dengan dunia Jin Yong entah melalui buku, film, atau serial TV.
Dalam A Path To Glory, semangat Jin Yong menemukan tubuh baru dalam pahatan-pahatan kontemporer Ren Zhe. Lulusan Akademi Seni Rupa Tsinghua ini dikenal sebagai pematung muda dengan bahasa visual yang kuat: postur dinamis, gestur penuh energi, dan detail ekspresi yang menangkap jiwa perjuangan.
Karya Ren Zhe tidak berhenti pada estetika bentuk. Ia merangkum nilai-nilai Konfusianisme seperti keberanian, kemurahan hati, rasa hormat, dan kejujuran ke dalam patung-patung yang terasa hidup. Melalui material kontemporer, ia merakit dialog antara tradisi dan modernitas, Timur dan Barat. Seperti para pendekar Jin Yong yang selalu berada di persimpangan jalan hidup, karya Ren Zhe pun seakan bergetar di antara dunia lama dan dunia baru.

Tema A Path To Glory sendiri menemukan resonansinya dengan karya Jin Yong. “Jalan menuju kejayaan” dalam wuxia bukan sekadar soal kemenangan di medan laga, melainkan perjalanan batin menuju kebajikan dan kebenaran. Dengan patung-patungnya, Ren Zhe mengubah narasi Jin Yong menjadi tubuh fisik: wujud yang bisa disentuh, dipandang, dan diresapi.
Dalam konteks perayaan 100 tahun Jin Yong, pameran ini menjadi lebih dari sekadar perhelatan seni rupa. Ia adalah bentuk penghormatan pada seorang pengarang yang membentuk imajinasi kolektif dunia Tiongkok, sekaligus jembatan bagi generasi kini untuk meresapi nilai abadi di balik kisah para pendekar.
Menariknya, perayaan seabad Jin Yong tidak hanya bergaung di Haining, kota kelahiran sang maestro, tetapi juga hadir di Indonesia. Kehadiran A Path To Glory di Jakarta membuka kesempatan bagi publik Nusantara yang juga akrab dengan cerita silat dan tradisi kepahlawanan untuk menemukan titik temu budaya.

Seperti halnya karya Jin Yong yang lintas batas bahasa, karya Ren Zhe pun bicara dalam bahasa universal yaitubahasa perjuangan, bahasa kebajikan, dan bahasa keindahan.
Dalam bayangan para patung itu, seolah kita mendengar gema suara pendekar Rajawali yang melintas zaman bahwa kejayaan sejati bukan sekadar pedang di tangan, melainkan jiwa yang setia pada kebenaran. (satria; foto tcs)