Indonesiasenang-, Selama sepuluh tahun terakhir, Synchronize Festival telah menjelma dari sekadar festival musik menjadi ruang hidup yang memantik ekosistem musik Indonesia. Gelaran yang digawangi demajors ini bukan hanya menghadirkan panggung, melainkan membangun budaya, mengarsipkan sejarah, sekaligus menciptakan pertemuan lintas generasi. Tahun 2025 menjadi penanda penting: satu dekade perjalanan Synchronize, yang digelar di Gambir Expo Kemayoran pada 3, 4, dan 5 Oktober 2025.
Edisi kali ini mengusung tema “Saling Silang”, terinspirasi dari simbol angka Romawi X (sepuluh). Makna itu berkembang menjadi semangat pertemuan lintas genre, lintas zaman, dan lintas energi. Bagi Synchronize, kolaborasi bukan jargon, melainkan praktik hidup. “Dalam tubuh Synchronize, ‘Saling Silang’ bukan jargon, melainkan praktik yang hidup,” ungkap David Karto, Director of Festival Synchronize Fest.
Kolaborasi musik dan seni rupa menjadi sorotan lain. Untuk merayakan usia 25 tahun demajors dan ruangrupa, Synchronize Fest menyulap Hall D2 JIEXPO menjadi pameran seni kontemporer. Ruang ini bukan sekadar galeri, melainkan pertemuan kosmos antara bunyi dan rupa.
Perupa yang terlibat datang dari berbagai kota: ruangrupa (Jakarta), Serrum (Jakarta), Grafis Huru Hara (Jakarta), Forum Sudut Pandang (Palu), Hysteria (Semarang), Jatiwangi Art Factory (Majalengka), Taring Padi (Yogyakarta), hingga komunitas dari Banda Aceh, Makassar, Solok, Larantuka, dan Jayapura. Lebih dari 20 kolektif terlibat, menandai bahwa seni kontemporer Indonesia tumbuh bersama dengan musik sebagai medium kebersamaan.
“demajors dan ruangrupa tumbuh bersama selama 25 tahun. Bidangnya berbeda, tapi orang-orangnya tidak jauh beda. Pada usia 10 tahun Synchronize, 25 tahun demajors dan ruangrupa, rasanya tepat jika kami merayakan bersama”, kata Ade Darmawan selaku inisiator ruangrupa.
Sesuai tradisi, Synchronize Fest menghadirkan ratusan musisi lintas genre, dari pop, rock, jazz, hip-hop, dangdut, hingga musik eksperimental. Nama-nama seperti Hindia, Idgitaf, JKT48, Jamrud, Padi Reborn, Anisa Bahar X Juwita Bahar, White Chorus, hingga Shaggydog turut meramaikan. Semua tampil di panggung signature: Oleng Upuk, Getarrr, dan Gigs Stage.
- Oleng Upuk, dikurasi LaMunai Records, jadi rumah bagi musik eksperimental dan elektronik.
- Getarrr, kurasi Kobra Musik, memberi panggung bagi musik akar rumput seperti orkes dan dangdut alternatif.
- Gigs Stage, bersama Extreme Moshpit, menyalakan energi musik bawah tanah yang akan disiarkan langsung di YouTube.
Setiap edisi Synchronize dikenal dengan program spesialnya. Tahun ini, panggung akan menghadirkan Guruh Gipsy, album legendaris 1977 yang jadi tonggak musik progresif Indonesia. Selain itu ada Riffmeister: The Legacy of Ricky Siahaan, Ambon Jazz Rock karya Barry Likumahuwa, serta nostalgia pop era 2000-an lewat Centil Era (Astrid, Aura Kasih, Shanty, Duo Maia, hingga Naykilla).
Salah satu kejutan terbesar adalah Stadium All-Star yang membangkitkan kultur klub malam Jakarta akhir 90-an hingga awal 2000-an. Dengan durasi 150 menit, set ini menjadi penampilan terpanjang Synchronize tahun ini.
“Banyak banget spesial program justru berangkat dari inisiasi musisinya”, ujar Aldila Karina selaku Director of Communication Synchronize Fest.
Di luar euforia panggung, Synchronize tetap konsisten dengan misi keberlanjutan. Tahun ini mereka menerapkan pengelolaan sampah terpadu, menyediakan titik isi ulang air minum, serta menggandeng sponsor yang mendukung gaya hidup ramah lingkungan.
Festival ini juga bekerja sama dengan Kredivo untuk mempermudah akses tiket, dengan promo cicilan dan cashback. Sejumlah sponsor besar turut mendukung, mulai dari Orang Tua Group, Djarum, Puffin Paint, hingga brand makanan dan minuman yang dekat dengan keseharian penonton.
Sejak lahir, Synchronize telah menghadirkan lebih dari 5.000 musisi, 700.000 penonton, 10.000 publikasi media, serta ribuan pekerja yang terlibat dalam produksi. Angka itu bukan hanya statistik, melainkan bukti bahwa festival ini menjadi denyut ekosistem musik Indonesia.
Satu dekade Synchronize adalah pengingat bahwa musik Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. “Saling Silang” bukan sekadar tema, tapi semangat kebersamaan yang nyata—sebuah perayaan di mana musik dan seni bertemu, lintas generasi saling menyapa, dan semua tumbuh bersama. (satria; foto hsf)