Indonesiasenang-, Di bawah langit cerah Gambir Expo, suara manusia berpadu dengan dentum bass, gesekan gitar, dan riuh tepuk tangan. Dari siang hingga dini hari, musik tak berhenti berbicara bukan sekadar hiburan, tapi sebuah bahasa persaudaraan. Begitulah Synchronize Fest 2025 mengakhiri akhir pekan panjangnya, menandai sepuluh tahun perjalanan sebuah festival yang tumbuh dari ide, menjelma jadi gerakan budaya.
“It’s not just a festival, it’s a movement,” begitu slogan yang selama ini mereka usung dan tahun ini, maknanya terasa lebih nyata dari sebelumnya.
Tahun ini, tema #SalingSilang bukan sekadar jargon, tapi jantung dari keseluruhan narasi festival. Bersama demajors dan kolektif seni ruangrupa, Synchronize Fest mempertemukan dunia yang tampak berbeda, namun sejatinya serupa: musik, seni, dan budaya.

Bayangkan Elvy Sukaesih ratu dangdut yang legendaris berdiri di atas panggung bersama Tokyo Ska Paradise Orchestra (TSPO). Dua dekade lebih sejak pertemuan pertama mereka di Shibuya, kini mereka bersua kembali di Jakarta.
“Masya Allah, sambutan mereka luar biasa... Alhamdulillah saya masih sehat sampai sekarang”, tutur Elvy Sukaesih di sela tawa penonton yang tersenyum haru.
Kolaborasi mereka dalam “Bisik-Bisik Tetangga” dan “Kopi Dangdut” bukan cuma nostalgia, tapi pernyataan bahwa musik bisa menyatukan dunia, lintas waktu, lintas bahasa.
Sementara itu, di Hall D2, ruangrupa membawa pameran seni kontemporer yang menjadi perpanjangan semangat #SalingSilang. Karya-karya yang sebagian belum pernah ditampilkan di Indonesia dipajang bersebelahan dengan suara musik dari panggung terdekat. Sebuah dialog antara mata dan telinga, antara seniman dan penonton, antara tradisi dan kebaruan.

Tiga hari, enam panggung, ratusan musisi dan tak satu pun terasa biasa. Hari ketiga dibuka oleh Padi Reborn yang tampil di Dynamic Stage. Fadly menutup set mereka dengan memperkenalkan band-band yang tampil berikutnya di panggung yang sama, sebuah gestur sederhana tapi bermakna bahwa panggung ini milik semua generasi.
Tak jauh dari sana, Kelompok Penerbang Roket menyalakan api di Forest Stage. Momen stage invasion yang spontan membuat batas antara penonton dan penampil lenyap. Di panggung lain, Jason Ranti dan Dongker menampilkan kolaborasi absurd sekaligus jenius lewat album baru mereka I Don’t Know and I Dongker, disambut teriakan histeris yang meledak saat lagu terakhir.
Menjelang sore, matahari mulai tenggelam di balik langit Kemayoran. Tapi di Oleng Upuk, tak ada tanda-tanda energi berkurang. Set DJ dari SRM, Norrm Radio, Lamunai, dan DR. Yez membuat tubuh-tubuh bergerak tanpa henti. Musik elektronik lokal menemukan rumahnya di sana, penuh keringat, senyum, dan kebebasan.

Synchronize Fest selalu tahu cara menempatkan emosi di antara dentuman musik. Tribut “Riffmeister: The Legacy of Ricky Siahaan” menjadi penghormatan yang mengguncang jiwa. Di atas panggung, keluarga dan rekan-rekan mendiang dari Seringai, Burgerkill, hingga Step Forward bergantian tampil, menutup malam dengan pesan penuh cinta. Kara, putri mendiang Ricky, berkata dengan suara bergetar “Who I am right now is all because of him. He is truly the greatest dad I could ever have”.
Tak lama berselang, A Tribute to Gusti Irwan Wibowo menghadirkan gelombang emosi lain. Kolaborator seperti Ardhito Pramono, Danilla, Pamungkas, Hindia, hingga Kunto Aji bergabung di District Stage membawakan lagu-lagu dari album ENDIKUP. Bukan sekadar penampilan, tapi sebuah ritual penghormatan yang terasa intim, seolah sahabat lama sedang berpamitan dengan lembut.
Dari The Adams x Hornstar Big Band yang membangkitkan semangat brass-pop Jakarta, hingga White Chorus yang menghidupkan semangat kolektif indie, Synchronize Fest membuktikan bahwa panggung besar pun bisa terasa personal.
Pesta nostalgia Centil Era di Dynamic Stage membawa gelombang euforia masa 2000-an. Lagu-lagu seperti “Hanya Memuji”, “Jadikan Aku yang Kedua”, dan “Garam dan Madu” dikumandangkan oleh Citra Scholastika, Shanty, T2, Aura Kasih, dan lainnya menciptakan pesta besar di bawah lampu neon dan kenangan lama.

Menjelang tengah malam, A4A Clan menutup semuanya lewat pertunjukan bertajuk “Waktunya Indonesia Breakbeat”. Tapi bahkan saat jam hampir menunjuk pergantian hari, ribuan penonton masih enggan beranjak. Beberapa berlari ke Forest Stage untuk menyaksikan Morfem, sebagian lagi menumpahkan energi terakhir bersama The Panturas di XYZ Stage, seolah tak ingin malam berakhir.
Dan saat Prontaxan menyalakan beat terakhir di Oleng Upuk, seluruh area seakan tersenyum serentak. Synchronize Fest 2025 resmi berakhir, tapi denyutnya masih terasa bahkan setelah lampu padam.
Dari tahun ke tahun, Synchronize Fest telah berkembang jauh melampaui sekadar acara musik. Ia adalah arsip hidup perjalanan musik Indonesia, ruang aman bagi semua genre, semua generasi, semua suara.
Di usia ke-10, festival ini telah membuktikan bahwa musik mampu menciptakan gerakan: menghubungkan yang jauh, menyembuhkan yang hilang, dan menyatukan yang berbeda.
Dan seperti namanya, ia akan terus menyinkronkan banyak hal, dari masa lalu, masa kini, hingga masa depan musik Indonesia.
Sepuluh tahun berlalu, dan “It’s not just a festival, it’s a movement” kini bukan lagi sekadar slogan tapi sudah menjadi kenyataan. (sugali ; foto dsf2025)