Indonesiasenang-, Jazz kembali mengalun indah di jantung kota Solo. Festival tahunan Solo City Jazz 2025 yang digelar di Pamedan Pura Mangkunegaran menjadi bukti bahwa musik bisa memperindah wajah kota, menambah daya tarik keramahan sekaligus menghadirkan kesejukan. Sejak dimulai pada 2009 oleh C-Pro dengan CEO Wenny Purwanti, festival ini telah menjadi agenda tetap kota Solo, meski sempat absen akibat erupsi Gunung Merapi dan pandemi Covid-19. Tahun ini, dukungan Pemerintah Kota Solo serta sponsor membuat gelaran ke-13 ini kembali berlangsung meriah.
Penyelenggara berharap festival ini membuat Solo semakin jazzy bukan sekadar musik, tapi juga suasana lebih adem, mempesona, dan menyenangkan. Jazz di Solo tak hanya sekadar hiburan, melainkan wujud harmoni antara musik, kota, dan masyarakatnya.

Menjelang senja, UTARA, band asal Solo yang lama vakum, membuka panggung dengan “Ruang Lain”, “Lelah Langkahku”, dan “Hujan di Hatiku”. Nuansa awal 2000-an yang melekat di karya mereka membuat penampilan terasa nostalgis sekaligus segar.
“Kehadiran kami di Solo City Jazz ini memang sudah lama kami nantikan”, ujar Ipul, sang leader, yang menyebut panggung ini sebagai tanda kebangkitan mereka.
Setelah itu, panggung diisi oleh Aditya Ong Quartet, wajah muda jazz Solo yang menghadirkan komposisi orisinal seperti Love, Live and Hope dan East, West, CNY Night. Malam semakin lengkap saat mereka mengiringi Sandhy Sondoro. Sang penyanyi membuka dengan “Anak Jalanan” lalu membawa penonton hanyut dalam lagu-lagu andalannya seperti Tak Pernah Padam, Superstar, hingga ditutup manis dengan Malam Biru.

Kebanggaan lokal kembali hadir lewat Pung n Friends – Ing Jazz Triwindu yang bahkan mengiringi Wakil Wali Kota Solo Astrid Widayani membawakan “Don’t Know Why”. Malam makin hidup dengan Pilipe dari komunitas Jazz Pinggir Kali Pepe, dipimpin pianis senior Sukat Puspaningrat. Sorakan riuh muncul ketika penyanyi legendaris Margie Segers naik panggung, menyanyikan “Fly Me To The Moon”, “Kesepian”, hingga menutup dengan “Kata Hati” sambil menyapa langsung para penonton.
Gelombang energi naik ketika Float mengambil alih panggung. Dengan vokal khas Meng, mereka membawakan deretan hits seperti Time, Sementara, dan Pulang. Atmosfer memanas, menjadi jalan lapang bagi penutup acara, Efek Rumah Kaca (ERK).
Sebagai band indie papan atas, ERK memberi pengalaman musikal berbeda: perpaduan pop, rock, noise, hingga sentuhan jazz. Lagu-lagu seperti “Kamar Gelap”, “Rahim Ibu”, “Putih”, hingga klimaks “Cinta Melulu” menjadi akhir spektakuler dari festival.

Solo City Jazz 2025 sekali lagi membuktikan dirinya sebagai ruang perjumpaan musik lintas generasi, dari yang kental nuansa jazz hingga yang lebih eklektik. Pada akhirnya, jazz bukan sekadar genre, melainkan cara merayakan kehidupan di Solo yang semakin jazzy, hangat, dan mempesona. (satria; bonk)