Indonesiasenang-, The Carpenter’s Son (2025) karya sutradara Lotfy Nathan menjadi salah satu film horor paling berani tahun ini. Dengan memadukan elemen religius, drama keluarga, hingga nuansa mistis, film ini berupaya membuka sisi gelap dari masa kecil Yesus melalui kisah fiksi yang terinspirasi teks apokrif Infancy Gospel of Thomas. Hasilnya adalah tontonan berat, penuh simbol, dan meninggalkan ruang besar bagi interpretasi penonton.

Tayang serentak pada 10 Desember 2025 di seluruh bioskop Indonesia, The Carpenter’s Son mengikuti kisah sepasang orang tua yang hidup terpencil bersama anak mereka—seorang bocah dengan kekuatan tak biasa dan masa depan misterius. Sang ayah berjuang melindungi keluarganya, sementara sang ibu terjebak dalam tekanan emosional akibat keajaiban sekaligus ancaman yang mengitari sang anak.
Alur Cerita: Langkah Pelan yang Penuh Tekanan Batin
Cerita berpusat pada keluarga kecil yang hidup jauh dari keramaian. Putra mereka memiliki kemampuan yang tidak bisa dijelaskan, menciptakan ketakutan, rasa bersalah, dan pergulatan batin yang menjadi inti konflik.

Alih-alih menghadirkan horor konvensional, The Carpenter’s Son memilih jalur horor psikologis:
- diam panjang,
- tatapan yang gelisah,
- ancaman yang terasa tapi tidak terlihat.
Gaya penceritaan ini efektif membangun atmosfer mencekam, tetapi bagi penonton yang mencari teror cepat mungkin terasa lambat.
Visual: Atmosfer Sunyi yang Menekan
Secara visual, film ini tampil solid. Lotfy Nathan memanfaatkan lanskap kering, cahaya natural redup, dan bayangan memanjang untuk menegaskan isolasi keluarga tersebut. Kamera sering mengambil jarak, menunjukkan betapa dunia seolah selalu mengawasi—atau bahkan menolak kehadiran mereka.

Beberapa adegan memukau dalam kesederhanaannya, meski ada momen di mana estetika terasa lebih dominan daripada kebutuhan naratif. Ini menciptakan visual yang cantik, namun tidak selalu menyentuh emosi pada tingkat yang lebih dalam.
Pendalaman Karakter: Kuat di Permukaan, Kurang Menggali Konflik
Para pemeran tampil menonjol:

- Nicolas Cage memberikan performa rapuh namun penuh intensitas sebagai sang ayah, meskipun ekspresinya kadang tidak sepenuhnya selaras dengan tone film.
- Noah Jupe menghadirkan karakter anak yang misterius dan tertutup—tepat, namun penulisan karakter tidak memberi ruang emosional lebih luas.
- FKA Twigs dan Isla Johnston menambah dinamika, tetapi terasa lebih sebagai pemicu plot dibanding individu dengan konflik yang kuat.
Pendalaman karakter terasa memadai, namun masih ada potensi yang belum tergarap maksimal.
Kesimpulan: Eksperimen Berani untuk Penonton yang Sabar
The Carpenter’s Son bukan horor yang menawarkan kepanikan instan. Ini adalah horor kontemplatif—film yang mengajak penonton tenggelam dalam simbolisme, suasana gelap, dan konflik moral.
Bagi penikmat film dengan ritme pelan, visual kuat, dan tema religius berlapis, ini adalah pengalaman yang sangat berbeda. Tetapi bagi yang mencari narasi jelas dan ketegangan cepat, film ini mungkin terasa terlalu samar.
Meski tidak untuk semua orang, The Carpenter’s Son tetap menjadi eksperimen berani yang memperkaya warna horor modern. (kintan; mp;cxxi)