Indonesiasenang-, Nama Hendra Hadiprana tak bisa dilepaskan dari sejarah seni rupa modern Indonesia. Arsitek sekaligus kolektor seni yang mendirikan galeri seni pertama di tanah air ini kembali dikenang lewat Pameran Retrospeksi Napak Tilas Seni, yang digelar pada 23 Agustus hingga 15 September 2025.
Pameran ini menghadirkan jejak koleksi dan perjalanan seni Hendra Hadiprana, mulai dari karya maestro seni modern Indonesia seperti Gregorius Sidharta Soegijo, Sadali, Srihadi Soedarsono, Ad Pirous, Jeihan Sukmantoro, hingga Yusuf Affendi. Tidak hanya itu, sejumlah perupa muda yang pernah bersinggungan dengan Hadiprana semasa hidup, seperti Wayan Bawa Antara, Made Gunawan, Putu Bonus, dan Ketut Seno juga ikut ditampilkan, meneguhkan lintasan panjang interaksi Hadiprana dengan dunia seni.
Hendra Hadiprana (13 Agustus 1929 – 1 Januari 2018), yang akrab disapa Om Henk, dikenal sebagai arsitek yang memandang seni dan arsitektur sebagai satu kesatuan. Setelah menamatkan studi desain interior dan arsitektur di Akademik Minerva Afdeling Architectuur, Groningen, Belanda pada 1957, ia memilih kembali ke Indonesia keputusan yang tidak lazim kala itu, karena banyak rekan sejawatnya menetap di Eropa.
Keputusannya pulang ke tanah air berakar pada kecintaan terhadap seni dan budaya Indonesia. Momen itu ditandai ketika ia terpikat pada lukisan Penyaliban Yesus karya Gregorius Sidharta yang dipajang di Hotel Des Indes. Lukisan itu kemudian menjadi koleksi pertamanya, simbol dari titik awal perjalanan Hadiprana sebagai kolektor seni.
“Pertanyaan terpenting bagi ayah adalah bagaimana menawarkan arsitektur dan interior bukan hanya sebagai tempat, tetapi juga sebagai seni yang memiliki sentuhan individual,” ujar Puri Hadiprana, putri sulung sekaligus Commissioner Hadiprana Design dan pendiri Hadiprana Art Centre.
Menurut Puri Hadiprana, pameran ini tak hanya memperingati ulang tahun kelahiran ayahnya yang jatuh pada bulan Agustus, tetapi juga bertepatan dengan HUT ke-80 Republik Indonesia. “Napak Tilas adalah saat semua orang tak meninggalkan sejarah. Koleksi-koleksi ini meneguhkan bahwa seni itu jujur dan dicintai dengan hati di tiap era, seperti ayah saat awal terpikat pada seni modern”, tuturnya.
Kesaksian serupa datang dari Johanda, manajer Galeri Hadiprana yang telah bekerja lebih dari 26 tahun mendampingi Om Henk. Ia mengingat betul bagaimana Hadiprana tidak hanya membeli karya seni, tetapi juga membangun persahabatan dengan para seniman yang ia dukung. “Om Henk mengamati perkembangan tiap seniman, hasratnya, kecakapannya. Karya-karya itu baginya adalah cerminan sejati dari kecerdasan, hati, dan jiwa para seniman Indonesia”, ungkapnya.
Kecintaan Hendra Hadiprana pada seni melahirkan berbagai terobosan. Tahun 1958 ia mendirikan firma konsultan desain Hadiprana, lalu pada 1962 membangun galeri seni pertama Indonesia dengan nama Prasta Pandawa yang kemudian berubah menjadi Galeri Hadiprana. Kehadiran galeri ini ikut memicu geliat seni rupa di Jakarta yang sempat vakum pada era 1960-an.
Lewat ruang pamer itu, ia semakin menegaskan pandangan bahwa seni rupa, desain interior, dan arsitektur saling menghidupi. Seni tidak hanya untuk galeri, melainkan juga harus hadir di ruang keluarga, ruang publik, dan kehidupan sehari-hari.
Dalam salah satu visinya yang kerap diulanginya, Hendra Hadiprana berkata, “Arsitektur adalah cara hidup, sebuah sikap untuk menghargai seni dan budaya. Arsitektur dan seni-budaya adalah bagian integral dan tak terpisahkan".
Pameran Retrospeksi Napak Tilas Seni menjadi ruang untuk menelusuri kembali jejak itu, sebuah pengingat bahwa warisan Hendra Hadiprana bukan hanya pada bangunan dan ruang, tetapi juga pada cara kita memandang seni sebagai bagian dari kehidupan.(elang; foto hac)