Indonesiasenang-, Di suatu titik dalam hidup, cinta tak lagi berbentuk pelukan atau janji. Ia menjelma sunyi dan menetap di dada, mengendap sebagai kehilangan yang pelan-pelan harus diterima. Dari ruang emosional itulah Albert Tanabe merangkai EP perdananya, Pendar di Matamu, sebuah trilogi patah hati yang dirilis pada 6 Desember 2025.
Bukan sekadar kumpulan lagu, Pendar di Matamu hadir sebagai perjalanan. Perjalanan seseorang yang kehilangan, mencintai sendirian, lalu belajar merelakan. Tiga lagu yang berjudul Tak Lagi Menjadi, Pendar di Matamu, dan Walau Tuk Sementara, disusun berurutan, seolah membuka lembar demi lembar buku harian yang selama ini tak terucap.

“EP ini lahir dari pengumpulan rasa selama setahun terakhir. Potongan emosi, fragmen kenangan, dan pengalaman cinta yang tak selalu berakhir bahagia. Ini memang trilogi dengan satu cerita besar”, kata Albert Tanabe pada acara Konferensi Pers Perilisan EP Pendar di Matamu (16/12/2025), di El Makko Social Space – Penjernihan, seolah sedang mengingat kembali luka-luka lama yang akhirnya berani ia bagikan.
Trilogi ini dibuka oleh Tak Lagi Menjadi, lagu tentang kehilangan yang belum tuntas. Tentang seseorang yang tahu bahwa segalanya telah berubah, tetapi hatinya belum sepenuhnya siap melepaskan. Ada penyangkalan, ada harapan kecil yang tersisa, meski rapuh.
Cerita lalu berlanjut ke lagu inti, Pendar di Matamu. Di sinilah rasa paling menyakitkan itu hadir: mencintai seseorang yang tak lagi menaruh kita di cahaya matanya. Judul lagu ini lahir dari kesadaran pahit bahwa cinta bisa memudar tanpa suara. Lagu ini menjadi fase pasrah, titik ketika seseorang mulai menerima bahwa perasaan tak selalu berbalas.

Penutup trilogi, Walau Tuk Sementara, hadir dengan nada yang lebih dewasa. Bukan lagi tentang menuntut keabadian, melainkan tentang keberanian menerima bahwa cinta seindah apa pun bisa saja hanya dititipkan sementara. Lagu ini dipilih sebagai fokus utama EP karena, bagi Albert Tanabe, ia merangkum pesan paling utuh, tentang ikhlas, tentang menghargai waktu, dan tentang merelakan saat waktunya tiba.
Yang membuat Pendar di Matamu terasa semakin personal adalah cara Albert Tanabe menulis. Ia selalu memulai dari lirik, dari satu frasa, satu baris kata, yang kemudian tumbuh menjadi cerita utuh. Musik datang belakangan, mengikuti emosi yang sudah lebih dulu menemukan bentuknya lewat kata-kata.
Dalam proses produksinya, Albert Tanabe justru memilih kesederhanaan. Tanpa aransemen berlebihan, tanpa lapisan bunyi yang ramai. Ia ingin lagunya terasa dekat, mudah didekati, dan jujur. Namun justru di situlah tantangannya.

“Membuat sesuatu yang sederhana itu tidak mudah, Setiap bunyi dipilih dengan hati-hati, agar emosi tak tertutup oleh kerumitan”, tutur Albert Tanabe.
Cerita Pendar di Matamu tak berhenti di audio. Albert Tanabe merancang video klip ketiga lagu ini sebagai satu narasi visual yang saling terhubung. Urutannya dimulai dari Pendar di Matamu, lalu Walau Tuk Sementara, dan ditutup Tak Lagi Menjadi, sebuah perjalanan visual yang mengikuti fase emosional sang tokoh, dari kehilangan hingga penerimaan.
EP ini juga menandai fase baru bagi Albert Tanabe sebagai musisi independen. Setelah sebelumnya banyak berkolaborasi dan mendapat sentuhan musisi lain, kali ini ia memberi ruang lebih luas bagi dirinya sendiri untuk bereksplorasi. Bebas, jujur, dan tanpa kompromi terhadap perasaan yang ingin ia sampaikan.

Ke depan, Albert Tanabe berencana membawa Pendar di Matamu ke panggung yang lebih intim lewat sebuah showcase yang dijadwalkan berlangsung pada Januari 2026, disusul kemungkinan tur promosi ke sejumlah kota. Ia ingin bertemu langsung dengan pendengar, mereka yang mungkin sedang berada di fase patah hati yang sama.
Pada akhirnya, Pendar di Matamu bukan hanya milik Albert Tanabe. Ia adalah ruang bersama bagi siapa pun yang pernah kehilangan, pernah mencintai sendirian, dan perlahan belajar merelakan. Sebuah pengingat bahwa patah hati, seberat apa pun, selalu punya cerita yang layak didengarkan. (satria; foto tcs)