Indonesiasenang-, Pada akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, industri perfilman Indonesia mencatat pencapaian luar biasa dengan 60 juta penonton pada tahun 2024. Jumlah ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah perfilman nasional, menandai keberhasilan besar dalam pengembangan sektor hiburan di tanah air. Pencapaian ini tidak terlepas dari peran penting dua kementerian utama, yaitu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), yang aktif dalam membina perkembangan industri film. Namun, muncul pertanyaan kritis: Apakah kesuksesan ini murni berkat kebijakan pemerintah, atau lebih didorong oleh kontribusi masyarakat perfilman sendiri?
Jika kita menengok ke belakang, era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan masa yang penuh tantangan bagi perfilman Indonesia. Saat itu, pelaku industri film berjuang keras tanpa banyak dukungan pemerintah, baik dalam perlindungan hak pekerja film, arah kebijakan yang jelas, maupun distribusi dan produksi film. Bahkan, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang disahkan pada masa itu dianggap kurang mampu menjawab berbagai kendala yang ada.
Kini, di bawah kepemimpinan Prabowo, tantangan baru muncul untuk melanjutkan dan memperbaiki kebijakan perfilman yang ada. Masyarakat perfilman berharap agar pemerintah tidak lagi membiarkan mereka berjuang sendirian. Kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah dan pelaku industri diharapkan menjadi prioritas utama, melihat film bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai instrumen penting dalam pembangunan sosial, budaya, dan ekonomi bangsa.
Beberapa negara telah menunjukkan keberhasilan dalam mengembangkan industri perfilman dengan pendekatan yang kolaboratif. Misalnya, pemerintah daerah di Beijing dan Shanghai memainkan peran kunci dalam mendukung industri film melalui pendanaan, peningkatan infrastruktur, serta adopsi teknologi canggih. Sementara itu, di Korea Selatan, strategi "Hallyu" atau Korean Wave sukses menjadikan film sebagai komoditas ekspor yang penting, didukung dengan kebijakan kuota film lokal di bioskop. Model serupa terlihat di Perancis, di mana pemerintah melalui Festival Film Cannes dan Centre national du cinéma et de l'image animée (CNC) berperan aktif dalam menyediakan pendanaan, mendorong inovasi, dan melindungi hak-hak pekerja film.
Indonesia dapat belajar dari model-model sukses tersebut untuk menciptakan ekosistem perfilman yang lebih dinamis dan berkelanjutan. Masyarakat perfilman, yang terdiri dari unsur pendidikan, profesi, usaha, dan komunitas, memainkan peran vital dalam kemajuan industri ini. Sinergi yang kuat antara pemerintah dan para pelaku industri diperlukan agar perfilman nasional tidak hanya menjadi alat ekspresi budaya, tetapi juga sebagai penggerak ekonomi yang signifikan.
Regulasi yang ada, seperti UU No. 33 Tahun 2009, dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan teknologi dan dinamika industri saat ini. Diperlukan regulasi baru yang lebih modern dan komprehensif, yang tidak hanya mendukung inovasi dan distribusi film secara inklusif, tetapi juga memperkuat identitas nasional serta meningkatkan ketahanan sosial dan budaya bangsa.
Di bawah kepemimpinan Prabowo, salah satu keputusan strategis yang harus diambil adalah mengenai pengelolaan industri perfilman: Apakah tetap dibina oleh dua kementerian, Kemendikbudristek dan Kemenparekraf, atau lebih efektif berada di bawah satu kementerian khusus seperti Kementerian Kebudayaan atau Kementerian Ekonomi Kreatif? Keputusan ini sangat krusial bagi masa depan industri perfilman Indonesia, baik dari sisi pengembangan kebudayaan maupun ekonomi.
Keberhasilan industri perfilman Indonesia di era Jokowi telah membuka jalan bagi transformasi yang lebih besar di masa depan. Tantangannya kini adalah bagaimana pemerintahan Prabowo mampu menjaga momentum ini dengan kebijakan yang tepat dan dukungan yang lebih terarah bagi masyarakat perfilman, sehingga film Indonesia dapat semakin berdaya saing di kancah internasional. (Gunawan Paggaru Ketua Umum BPI)