Pecalang Lebih dari Penjaga Keamanan, Mereka Adalah Penjaga Ruh Bali

Pecalang bukan sekadar penjaga keamanan, tetapi simbol spiritual dan sosial masyarakat Bali. Dalam Gelar Agung Pecalang 2025, ribuan pecalang bersatu memperkuat komitmen menjaga adat di era modern

Pecalang Lebih dari Penjaga Keamanan, Mereka Adalah Penjaga Ruh Bali

Indonesiasenang-, Di tengah laju modernisasi dan derasnya arus digitalisasi yang mengalir hingga ke pelosok desa adat, satu sosok tetap kokoh berdiri menjaga ruh Bali: pecalang. Dalam balutan kain kotak-kotak, udeng, dan keris di pinggang, mereka bukan sekadar penjaga acara adat. Mereka adalah simbol kedisiplinan, keteladanan, dan pertahanan nilai-nilai Bali dari gempuran zaman.

Momentum Gelar Agung Pecalang 2025 yang berlangsung pada Sabtu, 15 Maret 2025 lalu di kawasan Renon, Denpasar, bukan hanya peristiwa budaya semata. Ini adalah panggilan jiwa, ribuan pecalang dari 1.493 desa adat di Bali berkumpul, bukan untuk unjuk kekuatan fisik, tapi untuk merapatkan barisan dalam mempertahankan identitas Bali yang mulai diuji oleh perubahan.

Istilah pecalang diambil dari kata calang, yang memiliki akar teologis celang, waspada. Namun kewaspadaan yang dimiliki seorang pecalang tidak hanya sebatas mengawasi keramaian atau patroli malam. Ia adalah bentuk kesadaran penuh terhadap tanggung jawab spiritual dan sosial sebagai penjaga desa adat.

Pecalang bukan satuan keamanan biasa. Mereka tidak diupah oleh negara, tapi oleh adat. Mereka tidak dipanggil karena jabatan, tapi karena taksu (kharisma) dan kepercayaan masyarakat. Sejarah mencatat bahwa pecalang sudah ada sejak zaman kerajaan, dipercaya sebagai reinkarnasi para penjaga puri, dan kini hidup kembali dalam tatanan masyarakat modern dengan semangat yang sama.

Dalam keseharian, pecalang sering terlihat berjaga di persimpangan desa adat, atau mengatur lalu lintas saat upacara keagamaan berlangsung. Tapi peran mereka jauh lebih kompleks. Sebagaimana dipaparkan dalam penelitian Kadek Risthiana Aprilya Utari Giri, pecalang memegang dua peran utama dalam pelaksanaan acara besar seperti Pesta Kesenian Bali, internal dan eksternal.

Secara internal, mereka mempersiapkan formasi penjagaan, memetakan titik rawan, dan menyusun strategi pengamanan. Secara eksternal, mereka menjalin koordinasi intensif dengan kepolisian dan Satpol PP menjadi jembatan antara adat dan negara, antara tradisi dan modernitas.

Namun, saat tidak ada acara besar, para pecalang tetap berjaga. Pukul 01.00 dini hari mereka berkeliling desa, menyisir jalan-jalan sepi, memastikan kedamaian tetap terjaga. Pulang saat fajar menyingsing, mereka kembali menjadi warga biasa—bertani, berdagang, atau menjalankan usaha kecil di kampung.

Tidak semua orang bisa menjadi pecalang. Dalam Lontar Purwadigam, disebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi : nawang kangin kauh (terpelajar), wanen lan wirang (berani membela kebenaran), celang lan cala (memiliki kepekaan tinggi), rumaksa guru (menjadi teladan), satya bhakti ikang Widhi (takwa), dan karam desa pakraman (menikah dan bermukim di desa adat).

Mereka adalah pribadi-pribadi yang dipercaya bukan karena otot, tapi karena integritas. Itulah sebabnya, pecalang mendapat hak istimewa dibebaskan dari kerja bakti umum karena sudah mengabdikan diri dalam pengamanan adat, mendapat akses atas fasilitas desa, hingga bagian dari dana denda adat yang dikumpulkan dari pelanggaran lokal.

Dalam sambutannya di Gelar Agung Pecalang 2025, Gubernur Bali I Wayan Koster menegaskan pentingnya adaptasi. “Pecalang memiliki peran strategis dalam menjaga perdamaian di desa adat. Namun di era digital ini, mereka juga harus mampu memanfaatkan teknologi untuk mencapai tingkat pengamanan dan ketertiban yang memadai”, ujarnya.

Ini menjadi tantangan baru bagi pecalang, bagaimana tetap menjaga kesakralan adat di tengah kemajuan teknologi. Bagaimana tetap ‘celang’, waspada terhadap gangguan budaya luar, namun tanpa memusuhi perubahan. Pecalang masa kini dituntut bukan hanya menjaga wilayah fisik, tetapi juga ruang sosial, digital, bahkan ideologis masyarakat Bali.

Gelar Agung Pecalang bukan hanya seremonial. Ini adalah refleksi dari wajah Bali yang sesungguhnya, pulau yang tidak hanya indah secara visual, tapi juga kuat secara sosial-budaya. Dan di tengah semua itu, pecalang berdiri sebagai penjaga garda depan. Mereka bukan hanya pengatur lalu lintas upacara. Mereka adalah pengatur harmoni hidup.

Bagi wisatawan, pecalang mungkin tampak sebagai petugas adat berseragam. Tapi bagi masyarakat Bali, pecalang adalah simbol. Ketika pecalang hadir, ada rasa aman. Ada rasa bahwa tradisi masih hidup. Bahwa Bali, dengan segala tantangan globalnya, masih berdiri di atas fondasi yang tidak tergoyahkan: adat, budaya, dan kesadaran spiritual. (dewa; foto hpb)


Share Tweet Send
0 Komentar
Memuat...
You've successfully subscribed to Indonesia Senang Dot Com - Semampu kita bisa dan lakukan keSENANGanmu
Great! Next, complete checkout for full access to Indonesia Senang Dot Com - Semampu kita bisa dan lakukan keSENANGanmu
Welcome back! You've successfully signed in
Success! Your account is fully activated, you now have access to all content.