Indonesiasenang-, Legenda musik Indonesia, James F. Sundah, kembali menorehkan sejarah baru. Empat dekade setelah “Lilin-Lilin Kecil” yang abadi dalam ingatan lintas generasi, sang komponis legendaris ini merilis karya terbarunya, “Seribu Tahun Cahaya” sebuah lagu pop/EDM yang dirilis serentak dalam tiga bahasa (Indonesia, Inggris, Jepang) dari tiga benua: Asia, Amerika, dan Eropa.
Bukan sekadar proyek musik biasa, lagu ini menjadi persembahan pribadi untuk sang istri, Lia Sundah Suntoso, yang menjadi sumber kekuatan dan inspirasi dalam hidup James. “Lagu ini sebenarnya saya buat untuk istri saya sejak dua dekade lalu, tapi selalu tertunda. Setelah melewati masa kritis karena kanker, istri dan anak saya merawat saya dengan penuh kesabaran. Sebagai ungkapan syukur, saya merasa harus segera merilis lagu ini,” tutur James dengan nada haru dari kediamannya di New York.
James F. Sundah bukan sosok baru dalam lintasan global musik. Dua dekade sebelum “Seribu Tahun Cahaya”, ia telah berkolaborasi dengan Titiek Puspa serta dua personel Scorpions, Klaus Meine dan Rudolf Schenker, menciptakan lagu “When You Came Into My Life” untuk album Pure Instinct (1996), yang kemudian diproduseri oleh David Foster dan bersertifikat emas di beberapa negara Eropa.

Kini, dengan “Seribu Tahun Cahaya”, James menegaskan bahwa idealisme dan cinta masih bisa berjalan seiring teknologi dan waktu. Lagu ini diproduksi di New York, dirilis melalui label lokal di sana, dan didaftarkan langsung ke US Copyright Office bentuk ketidakpercayaan James terhadap sistem hak cipta di tanah air.
“Banyak pelaku musik tidak sadar betapa kompleksnya hak ekonomi di balik satu lagu, Saya ingin karya ini menjadi pengingat bahwa setiap peran pencipta, penyanyi, produser, hingga teknisi suara punya hak ekonomi yang harus dihargai”, kata James F. Sundah.
Proyek ini sesungguhnya sudah mulai dikerjakan sejak 2007. Kala itu, almarhum Djaduk Ferianto sempat menyebut lagu ini “terlalu maju” untuk zamannya. Namun James tetap teguh. Ia mengajak Meilody Indreswari, juara Bintang Radio RRI 2007, untuk menjadi vokalis awal. Meilody bahkan menyanyikan lagu ini dalam lima bahasa, termasuk versi Jepang.
“Setiap bahasa punya pemenggalan kata berbeda. Saya sampai harus take ulang berkali-kali. Om James bahkan minta bantuan teman native speaker untuk memastikan pelafalan saya,” kenang Meilody sambil tertawa.
Namun di balik proses yang melelahkan itu, Meilody mengaku ikut tersentuh oleh pesan lagu yang menggambarkan “penantian panjang yang akhirnya terjawab bahagia”.
Beberapa tahun kemudian, James mempercayakan versi bahasa Indonesia dan Inggris kepada Claudia Emmanuela Santoso (Audi), pemenang The Voice of Germany 2019. Suaranya yang lembut namun berkarakter membuat dimensi baru bagi lagu ini.
“Aku rasa sudah lama tidak ada lagu seperti ini. Liriknya dalam, melodinya puitis, dan penuh rasa”, ujar Claudia.
Dalam setiap versinya, James menanamkan elemen budaya yang berbeda: angklung dan kolintang di versi Indonesia, koto dan shakuhachi di versi Jepang, dan sentuhan synthesizer bernuansa outer space di versi Inggris. Hasilnya, “Seribu Tahun Cahaya” menjadi simfoni lintas bahasa, lintas benua, dan lintas emosi.
Lebih dari itu, lagu ini juga menjadi refleksi perjalanan James sebagai komponis, produser, sekaligus pejuang hak cipta. Ia mencatatkan dirinya sebagai sosok yang menjalankan peran penuh: dari composer, lyricist, arranger, musisi, produser eksekutif, hingga videografer.

Dedikasi itu akhirnya berbuah penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) untuk kategori “Penerbitan Serentak Single Tiga Bahasa dari Tiga Benua dengan Peran Terbanyak Berhak atas Hak Ekonomi Hak Cipta Karya Lagu.”
Namun bagi James, penghargaan hanyalah catatan sejarah. Esensi terpenting ada pada pesan yang ia titipkan sejak dulu “No Song, No Music Industry”.
Di era digital yang serba transparan, James mengingatkan pentingnya keadilan dalam pembagian hak cipta dan hak ekonomi. Ia berharap karya ini menjadi inspirasi bagi generasi baru musisi Indonesia untuk menghormati proses kreatif dan hak setiap insan di balik lagu.
Lahir di Semarang, 1 Desember 1955, James Freddy Sundah telah lama menjadi bagian penting sejarah musik Indonesia. Namanya melejit lewat “Lilin-Lilin Kecil” yang dinyanyikan Chrisye pada 1977 lagu yang hingga kini masih menghangatkan hati banyak orang di radio, panggung sekolah, hingga acara nostalgia.
Dengan “Seribu Tahun Cahaya,” James menyalakan kembali lentera itu, kali ini dengan cahaya yang menembus batas bahasa dan benua. Sebuah karya yang bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang dedikasi, keberanian, dan keabadian musik. (sugali ; foto dpjs)