Indonesiasenang-, Jika dunia serius dalam menangani polusi plastik laut, perdagangan terbuka sampah plastik dari negara maju ke negara berkembang harus diakhiri. Transisi ke masa depan yang bebas dari polusi plastik harus memungkinkan untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang paling bertanggung jawab, sambil melibatkan dan memperkuat suara masyarakat yang paling terkena dampak.
Saat membangun visi untuk Perjanjian Plastik Global, diperlukan menuntut pendekatan sistem yang terintegrasi dan holistik untuk seluruh rantai nilai plastik, mulai dari ekstraksi hingga pembuangan. Menjelang negosiasi Perjanjian Plastik Global, organisasi yang memerangi polusi plastik menyadari perlunya mengatasi masalah perdagangan limbah non B3 di Asia Pasifik. Impor limbah plastik menyebabkan polusi serius dan mengancam kesehatan masyarakat lokal di seluruh Asia Pasifik.
Program Officer for Toxic and Zero Waste Program di Nexus3 Foundation Indonesia, Mochamad Septiono, menyoroti pemerintah Indonesia harus berambisi menetapkan roadmap secara besar-besaran meningkatkan proporsi daur ulang domestik demi memenuhi permintaan industri nasional.
“Terutama untuk mendorong pengumpulan sampah secara terpisah. Ambang kontaminasi saat ini (2%) harus ditegakkan secara ketat, dan selanjutnya ditingkatkan menjadi 0-0,5% kontaminasi (daur ulang siap untuk produksi langsung/proses daur ulang untuk bahan baku sekunder). Selain itu, komoditas produk turunan limbah (pellet RDF/PEF, atau dalam bentuk apa pun) harus dilarang untuk diimpor”, jelas pria yang akrab dipanggil Tio tersebut.
Sementara itu, pengacara-peneliti di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Indonesia Fajri Fadhillah menegaskan negara-negara maju harus menghentikan ekspor sampah plastik ke negara-negara Asia Pasifik. “Sebagian besar praktik ekspor ini adalah kegiatan ilegal atau kriminal. Negara pengimpor dan pengekspor yang telah meratifikasi Konvensi perlu memberikan sanksi kepada orang atau korporasi yang melanggar konvensi,” tegasnya.
Tak hanya terjadi di Indonesia, perdagangan limbah non B3 juga menjadi polemik di Malaysia. Insinyur kimia dan pembela hak asasi manusia di Kuala Langat Environmental Action Association, Malaysia, Pua Lay Peng, juga menjelaskan dalam beberapa tahun terakhir, Malaysia telah menjadi salah satu negara yang menerima impor limbah non B3 terbesar. Hal Ini jelas meninggalkan jejak polusi, terutama dari limbah plastik sejak larangan impor limbah China pada 2017.
“Kami menderita konsekuensi dari meningkatnya penyakit sistem pernapasan dan tingkat kanker. Korupsi. adalah salah satu alasan mengapa begitu banyak sampah yang diselundupkan ke Malaysia. Sampah ini sangat sedikit manfaatnya. Sebaliknya kita dibiarkan dengan bahan sampah yang mengandung bahan kimia berbahaya, dan banyak plastik sisa hanya akan dibakar di insinerator atau dibuang di tempat pembuangan sampah. Asia Tenggara bukanlah tempat pembuangan sampah dunia. Negara-negara maju harus menangani sampah plastik mereka sendiri," papar Pua Lay Peng.
Senior Advisor and Co-founder Nexus3 Foundation Indonesia, Yuyun Ismawati, mengatakan peraturan yang ditingkatkan (tentang perdagangan sampah plastic) telah mengurangi pelanggaran yang dapat kita amati di tingkat akar rumput. Di sisi lain, dalam pelaksanaannya pemerintah juga kurang transparansi.
“Pelanggaran-pelanggaran di masa lalu, yang secara administratif dikenai sanksi, membuat lingkungan dan masyarakat sekitar dibebani dengan praktik-praktik yang patut dipertanyakan yaitu penghancuran ratusan container berisi sampah plastik impor yang tidak dapat diolah oleh perusahaan-perusahaan yang melanggar”, kata Yuyun Ismawati.
Terakhir, Coordinator Ecowaste Coalition Philippines, Aileen Lucero, menekankan ASEAN sebagai blok regional harus melarang semua impor sampah plastik. “Untuk mengatasi krisis polusi plastik, kami selanjutnya meminta negara-negara anggota ASEAN untuk mengembangkan kebijakan pengurangan plastik yang kuat, termasuk menghapus plastic sekali pakai,” pungkasnya. (kintan; foto humasalianszerowazeindonesia)