Indonesiasenang-, Festival Berani Beda 2025 kembali menjadi ruang perayaan keberagaman melalui musik. Digelar di Graha Pemuda, Kompleks Gereja Katedral Jakarta, Jumat (21/11/2025), festival yang diprakarsai Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) KWI, Tirta Bersemi, dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini menghadirkan enam band lintas komunitas yang tampil mengusung tema besar “Etika Bersama Keberagaman.”
Deretan band tersebut antara lain The Mistik, Notaker, Elfasan, Sanurian, Starway, dan Ithaca, yang masing-masing membawa identitas keagamaan, budaya, dan latar belakang berbeda sebagai kekuatan utama penampilan mereka. Musik menjadi jembatan yang mempertemukan perbedaan—persis seperti yang ingin ditegaskan oleh festival ini.

Dengan persiapan yang relatif singkat kurang dari tiga bulan Festival Berani Beda 2025 tetap melahirkan talenta terbaik. Dewan juri yang terdiri dari musisi Sigit Wardana, drummer legendaris Budhy Haryono, dan produser Viddy Supit menetapkan tiga pemenang:
Juara I: Starway — hadiah Rp15.000.000
Juara II: Elfasan — hadiah Rp10.000.000
Juara III: Sanurian — hadiah Rp5.000.000
Penilaian dilakukan berdasarkan empat kategori utama, yaitu gagasan, kreativitas dan aransemen; keterampilan bermusik; serta pembawaan dan keseluruhan interpretasi lagu.
“Aransemen itu penting. Kreativitas juga jadi kunci. Kami melihat bagaimana setiap band memaknai tema keberagaman dengan gaya mereka masing-masing”, kata Budhy Haryono dalam sesi evaluasi juri.

Salah satu highlight Festival Berani Beda 2025 adalah kolaborasi musikal lintas agama yang memadukan seni hadroh dari PBNU dengan permainan saksofon Romo Alusius Budi Purnomo. Kolaborasi ini makin lengkap dengan dua lagu proyek solo Sigit Wardana berjudul “Kisah Hidup Bapak-Bapak” dan “Luka Tak Berdarah” yang dibawakan secara intim dan penuh energi.
Kolaborasi tersebut mengundang aplaus panjang dari penonton dan menjadi bukti nyata bahwa musik dapat meruntuhkan sekat keagamaan tanpa kehilangan identitas masing-masing.
Ditegaskan oleh Olga Lidya selaku Ketua Panitia Festival Berani Beda 2025, bahwa acara ini bukan sekadar pentas musik, tetapi sebuah perayaan keberagaman yang perlu terus disuarakan.

“Perbedaan tidak mungkin dihindari. Bahkan orang kembar pun tetap berbeda. Karena itu, menghargai perbedaan harus menjadi bagian dari keimanan kita”, ujar Olga Lidya.
Dijelaskan pula oleh Olga Lidya bahwa festival ini sekaligus memperingati 60 tahun dokumen Nostra Aetate, deklarasi penting Gereja Katolik tentang hubungan antaragama.
Dalam sambutannya Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, dr. Rahmat Hidayat Pulungan menekankan bahwa agama dan ilmu pengetahuan merupakan fondasi keberlangsungan bangsa. “Negara itu usianya jauh lebih muda dibanding agama. Negara yang ingin bertahan lama harus dekat dengan agama dan ilmu pengetahuan. Negara dewasa adalah negara yang melindungi seluruh perbedaan”, katanya.
Sementara itu, Monsinyur Christoporus Tri Harsono dari Komisi HAK KWI melihat bahwa seni berperan besar sebagai perekat perbedaan. “Seni itu ungkapan cinta kasih. Ia mempersatukan. Semakin berbeda, semakin memperkaya. Selain itu nilai-nilai verum (kebenaran), bonum (kebaikan), dan purum (keindahan), yang menurutnya semuanya berasal dari Tuhan”, tuturnya.
Pada kesempatan tersebut Monsinyur Christoporus Tri Harsono mengajak semua pihak untuk menerima kenyataan bahwa keberagaman adalah sesuatu yang melekat pada masyarakat Indonesia. “Toleransi sejati adalah menerima orang lain yang berbeda dari kita”, ucapnya.

Festival Berani Beda 2025 menutup malam dengan pesan sederhana namun kuat: bahwa keberagaman bukan hanya slogan, tetapi sesuatu yang hidup dan perlu dirayakan. Melalui musik, para peserta dan penonton melihat bagaimana perbedaan agama, budaya, dan latar belakang dapat menyatu menjadi harmoni yang utuh.
Dengan antusiasme para peserta dan dukungan lintas agama yang kuat, Festival Berani Beda 2025 menegaskan dirinya sebagai salah satu panggung musik paling inklusif dan berani di Indonesia. (satria; foto tcs)