Indonesiasenang-, Sempat dikritik oleh Oomleo karya-karyanya minim sentuhan Indonesia, Ardhianto Pramono mulai menciptakan Wijayakusuma sejak awal 202. Ketika dirinya menjadi saksi penggusuran kawasan asri di Canggu, Bali, demi vila yang akan dibangun oleh warga negara asing. Awalnya, ingin mengritik peristiwa tersebut lewat sebuah lagu.
Ardhito Pramono menggeser perspektif idenya dan melahirkan Wijayakusuma, tembang pop Indonesiana dua babak bercerita seputar eksistensial diri. “Banyak kecemasan aku akan … ‘guna aku apa, ya ?. Aku musisi, main film, penyiar juga. Terus apa ?’ Malah jadi mempertanyakan fungsi diri aku. Aue cerita banyak ke Oomleo, untuk itu akhirnya gue sertakan dalam lirik”, jelas lelaki yang memiliki sapaan akrab Ardhito ini tentang bagian awal Wijayakusuma.
Dibabak pertama, Ardhito mempertanyakan makna hidup dengan iringan khidmat piano, orkestrasi yang lirih, juga adakalanya sahut paduan suara. “Laju senja, pasrah gelap tiba. Tertunduk, termenung, terkulai, terlunta. Cemas akan guna,” begitu penggalan liriknya yang dituliskannya dengan padanan aksara autentik, dinyanyikan melalui lekuk pop Indonesia kala 50 tahun silam.
Liriknya kemudian berkembang seiring lagunya melaju mencapai babak kedua, ketika Ardhito mengaitkan makna hidup dengan alam semesta yang digambarkan oleh kekayaan alam maupun budaya Indonesia. Single Wijayakusuma sendiri telah resmi rilis pada Kamis (7/7) ini dan menjadi karya perdana Solois asal Jakarta pasca menyelesaikan masa rehabilitasi, sekaligus penanda kembalinya label rekaman Aksara Records setelah hampir 13 tahun tidak beroperasi. Lagu ini diproduseri oleh Gusti Irwan Wibowo dan ditulis bersama Narpati ‘Oomleo’ Awangga.
Konsep pop Indonesiana yang diusung Ardhito menjadi salah satu pemicu untuk Hanindito Sidharta, co-founder Aksara Records, membangkitkan kembali label rekaman tersebut. “Dulu, Aksara Records berdiri karena kami ingin mendokumentasikan band-band Jakarta yang tidak berpatokan kepada musik pop atau rock yang ada di pasar pada saat itu. Seperti The Brandals, The Upstairs, The Adams, dan masih banyak lagi”, katanya.
Diungkapkan pula oleh Hanindito Sidharta, sekarang, Aksara Records kembali karena kancah musik pop Tanah Air hari ini sangat seru, dengan sentuhan pop 80’an atau 70’an. Musik-musik seperti ini bahkan digemari anak-anak gen Z dan milenial. Saya juga mengapresiasi industri musik Indonesia hari ini dimana telah memiliki infrastruktur lebih mumpuni, khususnya di spektrum digital”, ujarnya.
Aksara Records juga bakal merilis album penuh terbaru Ardhito yang direncanakan terjadi pada pertengahan Juli ini. Selayaknya Wijayakusuma, warna musik yang diusung dalam album tersebut pun akan bernafas ala pop Indonesia lama. Aransemennya pula tumbuh selaras dengan semakin megahnya bagian orkestrasi maupun paduan suara, serta diramaikan oleh komposisi gamelan dan nyanyian sinden dari Peni Candra Rini, pelaku macapat asli Solo.
“Jika digambarkan, Wijayakusuma selayaknya luapan energi eksploratif mendiang Chrisye yang terpantik berkat sejawatnya seperti Eros Djarot, mendiang Yockie Suryoprayogo, Keenan Nasution, hingga Guruh Soekarnoputra. Aku bukan berusaha mereplika zaman emas itu. Aku berusaha menjembatani semangatnya untuk masa ini. Awalnya lagu ini tidak bisa aku rekam, karena aku tidak tahu cara menyanyikannya”, tutur Ardhito mengenai kesulitan membuat Wijayakusuma.
Di-take pertama, Oomleo merasa Ardhito tidak nyaman dan terengah-engah. Jadi yang sudah dalam versi lagunya, itu setelah melalui take ke-100 sekian. Aku pun mengaplikasikan metode satu kali rekam, demi menuai esensi olah vokal yang maksimal dalam situasi terbatas, selayaknya periode rekaman menggunakan pita. Aku memang mencoba balik ke zaman dulu untuk proses A sampai Z-nya”, kata Ardhito.
Sebagai penutup Ardhito mengatakan, meski sudah banyak teknologi yang mendukung, metode yang digunakannya masih bersemangat lawas. “Meski sudah tersedia jasa orkestrasi yang lebih praktikal di Budapest, aku lebih memilih untuk merekamnya di Indonesia, dengan pemain-pemain dari Indonesia, dan beberapa alat rekamnya pun asli dari Indonesia”, pungkasnya. (lela; foto humasaksara)